Mohon tunggu...
De Kils Difa
De Kils Difa Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penikmat

Berkarya Tiada BAtaS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mimpi Siang Bolong

9 Juli 2016   17:44 Diperbarui: 9 Juli 2016   17:48 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dia tak berkata, tapi menutupi wajah dengan tangannya dan meratap.

*

Ku ingat kembali kejadian beberapa hari lalu, saat melintas di jalan raya Margonda Depok. Saat itu suasana ramai. Suara knalpot mobil meraung-raung tiada henti, teriakan para calo mencoba mengambil hati calon penumpang, klakson bersahut-sahutan seolah ingin menjadi sang raja  yang diberikan kebebasan untuk kelebaran jalan, pengamen yang sedang menunjukkan kebolehannya dalam bermusik, pedagang yang berlomba menjajakan dagangan, para pengemis yang merintih berharap pemberian, semua menjadi satu dalam kebisingan. Riuh tak jelas. Membuat pusing kepala.

Aku berada di deretan bangku nomor dua paling depan dekat jendela di sebuah bus antar kota. Aku sengaja memilih duduk di bangku ini agar memperoleh ketenangan dari hilir mudiknya orang-orang. Di sampingku belum ada penumpang. Tapi di belakang, tampak sudah banyak orang. Mungkin hanya tinggal 5-6 orang penumpang lagi, baru kemudian bus bisa berangkat.

Maklum, sudah menjadi hukum alam kalau bis belum penuh maka jangan harap segera berangkat. Banyak orang menggerutu akan hal ini, karena sudah hampir 20 menit bis asyik menunggu penumpang yang belum jelas kedatangannya. Padahal kalau mau, ia pasti mendapatkan penumpang di perjalanan yang akan dilalui. Yakin deh itu.

“Permisi Mas”  tegur seorang wanita yang lantas duduk di sebelahku.

“Oh ya… sorry” aku memberinya keluasan setelah tadi sebagian tempat duduk kukuasai dengan enak. Ku curi pandang untuk melihat wajahnya sejenak. “Lumayan juga” pikirku.

Wajahnya agak hitam tapi bersih dan manis. Sepertinya tak ada polesan bedak dari merk apapun yang ada di televisi. Hidungnya sedikit agak mancung. Ada tahi lalat kecil di atasnya. Kedua matanya, uh… aku tak bisa mengungkapkan. Apalagi kalau di tambah dengan kedua alisnya yang hampir menyambung menjadi satu ikatan lurus. Sangat indah.

Mendadak ia menoleh dan tersenyum. Mukaku memerah. Maklum aku sedang asyik menikmati keindahan karya Tuhan tanpa sepengetahuannya. Aku pun jadi ikutan tersenyum.

Bis perlahan mulai berjalan. Sang kondektur tetap berteriak lantang berharap masih ada sisa penumpang yang naik. Para penjaja dagangan dan pengamen mulai turun. 4-5 orang sudah ada yang berdiri gelantungan tak dapat tempat duduk. Aku berfikir, beruntung aku dapat tempat duduk plus di sebelahku ada pemandangan cantik.

Sulit kubayangkan kalau aku tadi tak buru-buru berangkat, aku pasti akan terkena hukum siapa yang terlambat ia tak dapat tempat. “Uhh….” Aku akan berdiri berdempetan dengan para penumpang lain. Padahal rute perjalananku jauh. Dari awal sampai penghabisan terminal.

##

Ini lampu merah kedua yang telah kulewati. Jam sudah menunjukkan pukul 09.00 tapi cuaca sudah terasa panas. Keringat mengalir deras dari atas tubuh. Begitupun halnya dengan wanita di sebelahku. Ia asyik dengan kegiatan mengipas. Aku menoleh kebelakang, penumpang sudah penuh. Tak ada lagi sedikitpun ruang gerak. Semua serba terasa sempit dan sesak.

Aku kembali melanjutkan memperhatikan jalan raya. Namun selintas kurasakan ada sentuhan halus pada tangan kanan. Aku berdiam. Mencoba tak menunjukan sikap gede rasa (GR) walau ku akui itu adalah sentuhan wanita yang ada di sebelah. Kali ini kurasakan lagi. Tapi aku tetap tak merespon. Aku takut nanti dikiranya GR banget. Aku masih memandangi sekitar jalan raya, sambil berharap kembali mendapat sentuhan. Harapanku terwujud, ia kembali menyetuh bahkan memegang lama tanganku.

“Mas, kenalan dong?”

“Ohh….” Aku celingak celinguk

“Aku ganggu ya…?” Senyunya merekah

“Enggak… enggak..” Ku garuk kepala yang tak gatal

“BT nie, berhenti-berhenti terus bisnya.” Mukanya meringis.

“Iya…..” ku perbaiki sikap duduk agar jadi nyaman saat mengobrol.

“Aku Nina.” Sambil menyodorkan tangan kanannya

“Rafi” ku sambut telapak tangannya, aaahh… halusnya.

Kami bicara panjang lebar. Mengenal satu sama lain. Mengisi kesuntukan hati. Ia wanita menyenangkan. Jiwanya humoris dan penyayang anak-anak. Ia terlihat senang sekali kalau membicarakan anak-anak. Baginya dunia akan sepi jika tak ada anak-anak di sekitarnya.

Aku sepintas melihat raut kekecewaan dan penderitaan batin yang terpendam di balik gelak tawa dan senyum manisnya, tak dapat dipungkiri kalau ia sedang menanggung beban yang amat berat. Tapi ia tak menceritakannya. Walau berulang aku mencoba memancingnya. Biarlah… toh ini urusan dia. Aku tak mau mengubah suasana cair ini menjadi tak enak kalau terus coba kupaksakan untuk dia menceritakan segala penat batin yang dirasakannya.

Kurang lebih seperampat jam lagi terminal terakhir sampai. Kami kini saling diam. Dibilang lelah tidak. Cuma saja, setelah mengobrol riang panjang lebar, akhirnya ia mengungkapkan kepedihan yang dirasa karena anaknya telah diculik orang. Ia tahu siapa pelakunya, tapi ia tak berani mengungkapnya. Sebab ini adalah anak hasil dari hubungan yang terlarang.

Ia bingung. Tak tahu harus berbuat apa, sementara dalam hatinya rasa kangen untuk bisa memeluk anaknya amat sangat besar. Ia ingin menyusui anaknya yang baru saja lahir dua minggu lalu. Ia menangis. Hilang sudah keceriaan yang tadi terpancar.

“Mas, terima kasih sudah menemani saya ngobrol. Mudah-mudahan kita bisa bertemu lain waktu.” Wajahnya menatap kosong ke depan.

Aku kaget ia mengucap itu.

“Kamu mau kemana Nin?” Ku pegang bahunya.

Dia tak berkata, tapi menutupi wajah dengan tangannya dan meratap. Kemudian Ia melangkah ke pintu bus dan menoleh kepadaku.

“Terima kasih Mas.” Ada raut harapan supaya bertemu kembali lain waktu. Aku mencoba membaca itu.

Ia turun dari bus, dan aku mengejarnya.

“Kamu mau kemana Nin?”

“Aku tak tahu Mas, aku harus mencari anakku.”

“Kemana?”

“Ke tempat lelaki laknat yang tidak bertanggung jawab atas perbuatannya itu”

“Aku ikut kalau gitu”

“Jangan Mas, saya tidak mau merepotkan. Lagi pula Mas harus berangkat kerja. Jangan perdulikan saya. Anggap saja pertemuan kita kali ini cuma mimpi di siang bolong”

Setelah itu ia lari dan menyebrang jalan. Aku berupaya mengejarnya. Tapi terhalang oleh kendaraan yang melintas. Aku kecewa tak melihatnya lagi kini. Ia menghilang. Pupus sudah harapanku untuk bisa membantunya. Padahal aku berharap ada kelanjutan cerita di antara kami. Karena kurasakan sesuatu “rasa” yang berbeda ketika ada di sampingnya. Ku yakin ia pun merasakannya. Aku terus mencari sosoknya di tengah keramaian jalan raya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun