Aku pernah sesumbar, “Kalau hidup harus tetap dijalankan, walau banyak rintangan”. Tapi aku tak habis pikir, kenapa banyak orang gampang untuk menyerah pada keadaan. Kemarin Anton baru saja ditinggal oleh adiknya. Reaksinya terlalu berlebihan. Ia menangis sejadi-jadinya. Teriak kencang mirip orang sedang kesurupan. Sumpah serapah keluar begitu saja.
Tak pandang bulu, siapapun yang ada di depannya akan disemprotnya habis-habisan. Kedua tangannya dipukulkan ke tembok. Segala macam barang yang berada di dekatnya, dilempar jauh-jauh. Entahlah. Terdengar kabar ia melakukan seperti ini, karena adanya penyesalan yang mendalam. Menyesal karena tak mampu menyelamatkan adiknya. Ia terlalu asyik dengan bermain gaplek bersama kawan-kawannya dari pada membawa adiknya ke rumah sakit sebagaimana yang diperintahkan oleh emaknya.
Tak jauh beda, dua hari yang lalu. Di kampung sebelah, tersiar kabar ada seorang istri yang nekat ingin bunuh diri karena ditinggal mati oleh suaminya. Untung ada seorang warga yang menyelamatkan dirinya ketika ingin terjun bebas ke dasar sumur tua di kebun pak Somad. Lebih tragis lagi, anak satu-satunya berumur 8 tahun dibawa ikut serta untuk bunuh diri. Sungguh senewen. Ada apa gerangan dengan warga masyarakat. Apakah hatinya sudah tak punya perasaan? Sehingga mudah melakukan tindakan yang tidak masuk akal.
Sekarang di tanganku tergambar jelas foto di surat kabar, wanita yang sudah menjadi mayat karena tak mau di tinggal mati oleh pacarnya yang meninggal di tabrak motor saat melintasi kampung sawah tengah malam oleh segerombolan pemuda yang sedang melakukan balapan liar. Kejadianya memang terlalu cepat. Sang wanita yang diboncengi oleh pacarnya kaget setelah melihat banyak darah keluar dari kepala kekasihnya.
Ia menggerakkan tubuhnya untuk membangunkan pacarnya, tapi tak mampu. Hingga ia melihat kekasihnya menghembuskan nafas. Ia berteriak kencang. Beberapa orang yang kebetulan lewat tak lama setelah kejadian, segera menghampirinya, namun sayang, kedatangan mereka terlambat sepersekian detik. Karena tak lama setelah berteriak, ia pun membunuh dirinya dengan menyilet aliran darah menggunakan pecahan kaca sepeda motornya. Aneh…
##
Aku terbangun dari tidur saat mendengar batuk keras dari kamar emak. Segera kuberanjak ke dapur dan membawakan air putih hangat untuknya. Ia tergeletak lemah. Kuperhatikan wajahnya yang semakin keriput karena penyakit. Tubuh kurusnya berselimutkan dua jaket tebal peninggalan almarhum bapak. Tapi ia menggigil. Ku letakkan telapak tangan di atas dahinya. Panas. Bahkan sangat panas. Ia tersenyum saat kusodorkan air putih hangat untuk sekedar melegakan tenggorakannya.
“Emak harus kuat ya …..!!!”
Ia diam.
“Emak ngga boleh patah semangat. Kemarin bu Juned sembuh dari penyakit jantungnya. Padahal ia tidak dirawat di rumah sakit”
Lagi ia diam. Aku memijit-mijit tubuh kurusnya yang terasa seperti bara api. Ia menggumam. Tapi aku tak faham. Mungkin ia merintih menahan sakit. Aku kembali ke dapur mengambil air untuk mengompres suhu badan emak. Kali aja, tinggi panasnya bisa berkurang. Sekembalinya, aku melihat emak sudah tertidur lagi. Aku jadi tenang. Urung aku lakukan mengompres kepala emak. Aku takut mengganggunya. Aku kembali ke kamar untuk melanjutkan tidur.