Pada abad ke-6 Masehi di tengah hiruk-pikuk Madinah pasca hijrah, seorang pria sekaligus sahabat nabi bernama Abdurrahman bin Auf memulai bisnisnya dari nol. Ia tidak merampas hak orang lain dan tidak korupsi hanya untuk memiliki kekayaan instan, tetapi menggunakan strategi investasi yang cermat dan penuh perhitungan. Dalam waktu singkat, ia menjadi salah satu sahabat Nabi yang paling sukses dalam perdagangan. Namun, keberhasilannya bukan sekadar soal kekayaan, melainkan bagaimana ia membangun investasi yang tidak hanya menguntungkan dirinya tetapi juga masyarakat sekitar.
Dewasa ini, di era kapitalisme modern, strategi investasi Abdurrahman bin Auf memiliki banyak kesamaan dengan pendekatan investor legendaris seperti Warren Buffett, Charlie Munger, dan Peter Lynch. Namun, ada satu hal yang membedakannya dari para investor Wall Street yaitu nilai-nilai kemanusiaan dan keberpihakannya kepada orang-orang kecil.
Berinvestasi pada Aset Bernilai
Saat tiba di Madinah, Abdurrahman bin Auf tidak tergoda untuk mencari keuntungan instan. Ia memulai dengan menganalisis pasar, memahami rantai pasokan, dan melihat celah bisnis yang bisa ia manfaatkan.
Di era modern, prinsip ini dikenal sebagai value investing, di mana seorang investor membeli aset yang undervalued tetapi memiliki potensi besar di masa depan. Warren Buffett, misalnya, selalu mencari perusahaan yang memiliki fundamental kuat, bukan sekadar mengikuti tren pasar.
Namun, perbedaannya adalah Abdurrahman bin Auf tidak hanya melihat nilai dalam angka, tetapi juga dalam aspek sosial. Ia memastikan bahwa bisnisnya tidak merugikan orang lain, sebuah konsep yang bisa diterapkan dalam investasi berkelanjutan (sustainable investing) saat ini.
Manajemen Risiko dan Kesabaran dalam Investasi
Abdurrahman bin Auf tidak pernah gegabah dalam berinvestasi. Suatu ketika, ia membeli kurma busuk dari pedagang kecil yang kesulitan menjual dagangannya. Orang-orang menganggapnya rugi, tetapi ia melihat peluang. Kurma tersebut ternyata masih bisa diolah dan dijual kembali dengan harga lebih tinggi di pasar lain.
Prinsip ini mirip dengan strategi Charlie Munger yang menekankan berpikir terbalik (inversion thinking) dalam investasi. Munger selalu bertanya: "Bagaimana saya bisa menghindari kehilangan uang?" Abdurrahman bin Auf juga berpikir serupa, ia tidak sekadar mencari keuntungan, tetapi bagaimana menghindari kerugian yang lebih besar, baik bagi dirinya maupun masyarakat.
Di dunia investasi modern, pendekatan ini dapat diterapkan dalam analisis risiko, diversifikasi portofolio, dan menghindari aset spekulatif yang menjanjikan keuntungan instan tetapi penuh ketidakpastian.