Trump selama ini terkenal dengan agenda "America First" yang menitikberatkan pada proteksi pasar domestik dan pembatasan produk asing. Ketika ia pertama kali berkuasa, tarif tinggi dan kebijakan dagang yang lebih ketat diberlakukan untuk melindungi produk-produk Amerika. Jika Trump kembali berkuasa, ada kemungkinan tarif ini muncul kembali atau bahkan diperluas. Apa dampaknya bagi Indonesia? Potensi pembatasan impor ke AS bisa menurunkan nilai ekspor produk Indonesia seperti tekstil, elektronik, dan kelapa sawit. Di sisi lain, perusahaan yang mengandalkan ekspor ke AS harus bersiap untuk menghadapi tekanan tambahan.
Selain itu, kebijakan ketat terhadap China bisa membuat negeri tirai bambu tersebut mencari pasar alternatif di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Namun, persaingan ini justru bisa menyulitkan produk-produk lokal untuk bersaing di pasar domestik yang semakin kompetitif.
Kebijakan ekonomi Trump juga dikenal memicu volatilitas di pasar keuangan. Jika Trump kembali, ketidakpastian terkait kebijakan fiskal dan moneter AS bisa memengaruhi sentimen investor di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Investor asing yang biasanya cukup sensitif terhadap kebijakan Amerika dapat tiba-tiba beralih ke instrumen investasi yang lebih stabil di AS jika Trump mengusung kebijakan moneter yang menguntungkan dolar. Hasilnya, pasar modal Indonesia bisa saja melemah, sementara rupiah tertekan.
Dari sisi mikro, dampaknya bisa menjalar ke ekonomi domestik. Trump mungkin mendorong perusahaan-perusahaan AS yang memiliki basis produksi di luar negeri untuk kembali ke AS, atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada negara-negara di luar Amerika. Indonesia, yang memiliki hubungan baik dengan banyak perusahaan AS, bisa terkena imbas jika ada pengurangan aktivitas investasi langsung AS. Dampaknya bisa meluas pada lapangan kerja dan transfer teknologi, terutama di sektor padat karya seperti manufaktur dan teknologi informasi.
Dalam perspektif makroekonomi, Indonesia perlu mempertimbangkan strategi diversifikasi ekspor dan investasi untuk mengurangi ketergantungan pada AS. Jika kebijakan perdagangan AS menjadi lebih eksklusif, Indonesia mungkin perlu menggencarkan kerja sama dengan pasar lain seperti Eropa, Asia Timur, dan Afrika. Selain itu, kebijakan stabilisasi nilai tukar menjadi penting agar guncangan global tidak berdampak signifikan terhadap nilai rupiah.
Dari perspektif ekonomi Islam, kebijakan proteksionisme yang cenderung melindungi hanya kepentingan satu negara dapat dipandang sebagai praktik yang tidak adil. Indonesia perlu mengembangkan kebijakan ekonomi yang mandiri, memastikan agar dampak dari fluktuasi global lebih terbatas dan meminimalisasi ketergantungan ekonomi terhadap satu negara tertentu.
Meski terkesan penuh tantangan, ada peluang yang dapat dimanfaatkan. Dengan memperkuat kerja sama regional dan memperdalam basis industri, Indonesia dapat menjadikan guncangan dari luar sebagai momentum untuk mendorong kemandirian ekonomi.
Terpilihnya Trump bisa jadi bukanlah akhir bagi perekonomian Indonesia. Dengan strategi ekonomi yang tepat dan kebijakan domestik yang adaptif, Indonesia bisa tetap stabil di tengah berbagai perubahan, menghadirkan perekonomian yang tangguh menghadapi guncangan global.
Kita sebagai rakyat Indonesia tentunya sangat berharap Indonesia mampu membentuk perekonomian yang mandiri, stabil, dan kuat sehingga tidak lagi bergantung dengan perubahan politik dari AS atau negara lainnya. Semoga dengan dilantiknya Prabowo-Gibran sebagai presiden baru Indonesia akhir-akhir ini menjadi angin segar akan harapan baru bahwa Indonesia bisa menjadi negara yang kuat, stabil, dan mandiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H