Di era media sosial, generasi muda punya ambisi yang besar. Begitu besar hingga seringkali lupa memikirkan soal realita. Di berbagai platform, kita bisa lihat anak-anak muda berpose di depan mobil mewah, pakai gadget terbaru, atau pamer liburan ke Bali, bahkan Eropa. Inilah dunia yang penuh "kilau." Tapi ironisnya, di balik tampilan mewah itu, banyak dari mereka terjebak dalam "jebakan cicilan seumur hidup."
Tapi, jangan salah! Ini semua berawal dari tren "flexing." Flexing, atau pamer kekayaan, seakan jadi keharusan bagi anak muda zaman sekarang. Terlihat kaya sama pentingnya dengan benar-benar kaya, bukan? Nyatanya, kebutuhan hidup seakan makin berkembang seiring dengan munculnya berbagai tren di media sosial. Dan semakin hari, gaya hidup ini semakin disamarkan dalam nama keren: "life goals," "travel goals," dan sejenisnya. Tak heran, generasi ini gemar belanja barang mewah, mengisi feeds dengan gaya hidup yang... yah, sesungguhnya di luar kemampuan mereka.
Dengan fasilitas Buy Now, Pay Later, kini semakin mudah mengambil cicilan barang konsumtif. Cuma modal KTP, sudah bisa bawa pulang barang impian. Hasilnya? Mereka merasa punya "aset," padahal lebih ke arah beban. Menariknya, banyak anak muda yang menganggap cicilan ini tanda status sosial sebuah tanda bahwa mereka bisa "membeli" gaya hidup orang-orang yang benar-benar berada. Tak jarang, pengeluaran jadi tidak terkontrol. Cicilan gadget, motor, tiket konser, semua diangsur. Semakin hari, semakin deras aliran utang yang harus dibayar.
Di sisi lain, tekanan untuk "tampil kaya" makin kencang, meski pendapatan masih pas-pasan. Rasanya, ada sebuah keharusan untuk selalu "memperbarui" gaya hidup biar tidak terlihat ketinggalan zaman. Ini semua sebenarnya berakar dari "FOMO" alias fear of missing out. Takut kalau tidak mengikuti tren, takut terlihat tidak sukses, hingga takut kalah gengsi dengan teman-teman. Semua ketakutan ini membebani kepala dan dompet. Maka, jangan heran jika anak muda lebih memilih memprioritaskan gadget terbaru ketimbang investasi untuk masa depan.
Tapi tunggu dulu, tentu mereka punya cara untuk mengatasi ini semua. Mereka mengambil langkah "bijak" dengan, ya, berutang lebih banyak. Maka lahirlah yang kita sebut "jebakan cicilan seumur hidup." Generasi yang bahkan belum punya rumah sendiri, tapi cicilan gadget terbaru tak putus-putus. Dan yang jadi ironi adalah bahwa kondisi ini tidak hanya memengaruhi kesehatan finansial mereka, tapi juga kesehatan mental mereka. Rasa cemas dan stres meningkat seiring menumpuknya tagihan dan cicilan. Terlihat mewah dan sukses di Instagram, tapi di balik layar, berdebar-debar menanti tanggal jatuh tempo.
Di tengah-tengah drama ini, tak bisa dipungkiri bahwa ada peran penting dari kurangnya edukasi finansial. Banyak yang tidak tahu bahwa gaya hidup konsumtif akan membebani keuangan jangka panjang. Mereka jarang mendengar soal dana darurat, investasi, atau mengelola keuangan secara bijaksana. Bayangkan saja, kalau generasi ini terus berutang demi gaya hidup konsumtif, dari mana modal untuk membeli rumah, atau modal bisnis? Kalau semua pendapatan habis buat bayar cicilan, lalu kapan bisa mandiri secara finansial?
Maka di sinilah kita sampai pada babak akhir cerita ironi ini. Dengan segala ambisi besar dan mimpi jadi sultan, sayangnya yang didapat justru sebaliknya. Generasi ini terjebak dalam utang, gaya hidup semu, dan rasa ketakutan akan pengakuan sosial. Hanya sedikit yang sadar bahwa untuk sukses sebenarnya, pengelolaan uang yang cermat lebih penting ketimbang sekadar terlihat sukses di layar.
Kita semua pasti setuju bahwa hidup yang baik bukan sekadar soal tampilan. Dan semoga saja, perlahan-lahan generasi ini bangkit dari jebakan cicilan, menyusun langkah lebih bijak, dan menemukan cara untuk mencapai mimpi besar mereka yang benar-benar nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H