Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Pemerhati Ekonomi, Penulis, Penikmat Makanan Lezat dan Pembelajar Ilmu Pemberdayaan Diri. Mantan Pegawai Bank dan Finance. Saat ini sedang menuntut ilmu di Program Studi Ekonomi Syariah UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Menyukai seni musik dan sulap, khusus untuk sulap saya menyukai ilusi dan kecepatan tangan. Menulis bagi saya untuk meningkatkan sebuah kesadaran dalam berkehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sang Kiyai Kampung dan Kenangan Masa Kecilku

23 Oktober 2024   17:28 Diperbarui: 23 Oktober 2024   21:03 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kenangan semasa kecil yang tidak bisa aku lupakan, Seusai solat subuh rutinitas yang  aku lakukan adalah menuju ke sebuah pondok pesantren yang masih terbuat dari anyaman bambu yang berada di kampung sebelah. Dengan semangat aku bergegas menuju pondok walaupun gelapnya suasana subuh membuatku takut, namun tak pernah menyurutkan tubuh kecilku untuk menuju ke pondok.

Langit subuh masih gelap gulita ketika aku mengayuh sepeda warisan kakakku, melewati jalan raya yang sepi dengan penerangan minim, tantangan yang sesungguhnya adalah aku harus melewati kuburan Belanda dengan cerita horrornya yang melegenda dikampungku.

Aku menunggu lewatnya mobil pickup yang hendak menuju ke pasar untuk berbelanja, itu adalah trik untuk dapat menerangi jalan yang gelap dan sedikit menghilangkan rasa takut akan kuburan Belanda yang aku lewati. "Yes, itu dia," gumamku dalam hati saat melihat munculnya mobil pengangkut sayuran yang hendak ke pasar. Saat mobil itu hendak melewati kuburan Belanda sang supir memelankan mobilnya, sepertinya ia paham bahwa aku menunggunya untuk melintasi kuburan Belanda. Lega rasanya melewati kuburan Belanda itu walaupun sebenarnya tidak ada apa-apa karena sugesti cerita horror aku merasa takut melewatinya.

Eits! Itu baru awal, aku harus melewati kebon pisang yang gelap gulita, karena pondok yang aku tuju berada di pinggir Sungai dan di Seberang Sungai tepat hamparan sawah yang luas, dengan kayuhan sepedah yang cepat aku melewati hamparan kebon pisang yang sangat gelap itu, mungkin jika Valentino Rossi aku ajak balap sepedah waktu itu akan mudah aku kalahkan karena bahan bakar aku adalah ketakutan akan di hantui penampakan mahluk halus. Sesampainya aku di pondok lega rasanya dan merasa berhasil melewati rintangan kuburan Belanda dan kebon pisang.

Langsung aku taruh sepedahku tepat bersandar di pagar pondok yang masih terbuat dari bambu. Aku bergegas menuju dapur pondok untuk mengisi gelas-gelas untuk para jamaah yang hadir, tugasku hanya mengisi karena untuk membagikan gelas-gelas itu tugasnya orang dewasa.

Pagi itu, seperti biasa setelah selesai mengaji, sang kiyai memintaku memijit kakinya yang sering keram. Usianya sudah 60-an tahun, dan aku yang waktu itu masih kelas 5 SD, merasa sudah menjadi rutinitasku setiap kali selesai mengaji di pondok. Sambil memijit, aku mendengarkan kisah-kisah hebat yang diceritakan oleh sang kiyai. Salah satu kisah favoritnya adalah tentang Syekh Nawawi al-Bantani, seorang ulama besar dari tanah kelahiranku yang namanya dikenal dunia. Kiyai sering menyebutnya sebagai penulis kitab-kitab kuning yang diajarkan di pesantren kami, dan kisah ini selalu memantik rasa penasaran di dalam diriku.

Setiap pijatan yang kuberikan tak terasa melelahkan karena selalu dibarengi cerita-cerita menarik tentang Syekh Nawawi. "Syekh Nawawi itu penulis hebat," ucap kiyai dengan suara rendah namun penuh wibawa, "ia menulis kitab yang dipelajari di seluruh dunia." Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, seolah-olah kisah-kisah itu menembus dimensi waktu dan membawa aku ke masa lalu yang penuh kebijaksanaan.

Pondok itu bukan hanya tempat aku menuntun ilmu, namun juga sekaligus tempat bermainku, karena seusai sekolah aku pasti menuju ke pondok saat siang karena ada jadwal ngaji nahwu-sorof dan setelah itu bermain di kebun milik kiyai yang bersebelahan dengan pondok atau menuju ke persawahan untuk memancing belut dan mencari jangkrik untuk di adu Bersama teman-teman.

Namun, semuanya berubah ketika suatu hari, kabar duka datang. Kiyai meninggal. Saat itu aku sangat terpukul dan rasa kehilangan itu begitu mendalam. Aku tidak lagi pergi ke pondok, tidak lagi mendengar kisah-kisah tentang ulama besar, dan yang paling menyakitkan, aku tak lagi bisa memijit kaki sang kiyai sambil mendengarkan cerita yang memotivasiku untuk tetap belajar.

Kenangan itu terus hidup di dalam hatiku. Setiap kali aku mengingatnya, aku merasa ada dorongan untuk tetap menulis, melanjutkan cerita-cerita yang sering aku dengar dari sang kiyai. Dulu, mungkin aku memijit kakinya dengan tangan kecilku, tapi sekarang, aku berharap bisa meneruskan warisan cerita-cerita itu lewat tulisan. Aku ingin orang lain tahu tentang kemahsyuran Syekh Nawawi al-Bantani, tentang pondok itu, tentang kebijaksanaan yang tak pernah pudar meski sang kiyai telah tiada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun