Hari ini, media sosial di Indonesia tampak berbeda dari biasanya. Netizen dengan antusias membanjiri linimasa mereka dengan gambar garuda berlatar biru dongker. Di Instagram, di X, bahkan di Facebook, lambang kebanggaan negeri ini mendadak jadi tren yang tidak terbendung. Ada yang mempermasalahkan? Tentu saja tidak, karena inilah "Peringatan Darurat," kampanye terbaru yang berhasil mengguncang dunia maya.
Gambar garuda biru yang mendadak viral ini rupanya bukan karya seni baru dari seniman kondang atau bagian dari kampanye merek ternama. Gambar ini pertama kali muncul dari akun kolaborasi yang tidak asing lagi: @narasinewsroom, @najwashihab, @matanajwa, dan @narasi.tv. Entah apa yang merasuki mereka, namun mereka berhasil memicu perdebatan sengit di seluruh pelosok internet hanya dengan satu gambar sederhana. Tidak ada penjelasan rinci atau pidato panjang, hanya garuda dengan latar biru dan sebuah teks: "Peringatan Darurat."
Di X, platform yang dulunya dikenal sebagai Twitter, kata kunci "Peringatan Darurat" langsung meroket menjadi trending topic. Bahkan dalam sekejap, hastag #KawalPutusanMK muncul sebagai penguasa trending topic dengan hampir 25.000 tweet. Barangkali kita harus mengakui, netizen Indonesia memang mahir menjadikan apa saja sebagai tren, asalkan diberi sedikit provokasi.
Namun, apa sebenarnya yang membuat gerakan ini begitu menarik perhatian? Ternyata, ini bukan sekadar ajakan untuk mengganti profil picture atau menunjukkan rasa nasionalisme yang meledak-ledak. "Peringatan Darurat" ini adalah sebuah seruan untuk mengawal Pilkada 2024, memastikan bahwa proses demokrasi yang sudah kita perjuangkan selama ini tidak dicurangi oleh kekuatan-kekuatan politik yang bermain di belakang layar.
Narasi yang beredar di media sosial ramai membahas tentang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 20 Agustus 2024 lalu. MK memutuskan bahwa partai politik tidak perlu memiliki kursi di DPRD untuk mengajukan calon kepala daerah. Keputusan ini, tentu saja, membuat banyak pihak mendadak jadi ahli konstitusi dadakan, berdebat di media sosial tentang dampak keputusan ini terhadap masa depan bangsa.
Tentu, tidak lengkap rasanya jika DPR tidak ikut ambil bagian dalam kericuhan ini. Pada 21 Agustus 2024, DPR memutuskan untuk menggelar rapat membahas revisi Undang-undang Pilkada. Rumor beredar bahwa revisi ini dilakukan untuk menyesuaikan atau mungkin menganulir keputusan MK. Namun, Achmad Baidowi, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, dengan tenang membantah semua spekulasi. Menurutnya, pembahasan revisi UU Pilkada tidak akan berbentrokan dengan putusan MK. Baidowi ini sepertinya lupa bahwa di negeri ini, kata-kata politikus jarang dipercaya tanpa dicurigai terlebih dahulu.
Mungkin benar bahwa gerakan "Peringatan Darurat" ini adalah cerminan dari keresahan masyarakat terhadap proses demokrasi yang terus-menerus diwarnai oleh intrik politik. Tapi di sisi lain, ini juga menunjukkan betapa mudahnya kita terpicu oleh gambar-gambar dan kata-kata yang merangkak di media sosial. Dengan hanya satu gambar garuda berlatar biru, kita serentak mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih mendesak.
Jadi, apa pelajaran yang bisa kita petik dari semua ini? Barangkali, di era digital ini, kita memang lebih peduli pada simbol daripada substansi. Dan jika simbol itu cukup kuat, kita siap berdiri di belakangnya, apa pun maknanya.
Dan di penghujung hari, saat kita berdebat, berbagi, dan bereaksi terhadap gerakan-gerakan ini, mungkin kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah semua ini benar-benar penting, atau kita hanya terjebak dalam permainan yang diatur oleh algoritma media sosial? Mungkin, seperti garuda biru itu, jawabannya akan tetap misterius, tersembunyi di balik layar ponsel kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H