Mohon tunggu...
fikri syah
fikri syah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menari Dengan Literasi

Buku saya : Utang Itu Candu,menjalani hidup yang waras tanpa riba | Blog pribadi : https://www.banguntidur99.com/

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Berdamai Dengan Kematian, Depresi Dapat Membunuhmu

6 Juli 2024   20:12 Diperbarui: 15 Juli 2024   18:19 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://megapolitan.kompas.com/read/2024/07/03/20264501/seorang-pria-ditemukan-tewas-gantung-diri-di-koja-jakut

Manusia, makhluk yang katanya paling sempurna menurut berbagai ajaran agama, ternyata sering kali menjadi biang kerok dari segala kegaduhan yang terjadi di dunia ini. Dari merusak lingkungan, menghancurkan tatanan hidup yang sudah susah payah dibangun, hingga merusak diri sendiri, manusia seolah tak pernah kehabisan cara untuk memperlihatkan ketidaksempurnaannya. Bukankah ironis, makhluk yang disebut-sebut sebagai puncak penciptaan justru kerap kali bertindak layaknya penghancur terburuk?

Salah satu aspek paling tragis dari kerusakan ini adalah fenomena depresi yang makin merajalela. Depresi, si hantu hitam yang kerap menghinggapi pikiran manusia modern, menjadi gerbang menuju kematian yang sering kali diabaikan. Fase dari kematian ini sering kali dimulai dengan rasa putus asa yang merayap pelan namun pasti. Kematian mental ini adalah sebuah proses yang tidak bisa dianggap remeh, namun sayangnya, masih banyak dari kita yang menganggap depresi hanya sebagai angin lalu.

Statistik dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) berbicara banyak tentang betapa mengerikannya kondisi ini. Angka bunuh diri terus meningkat setiap tahunnya, dan sebagai upaya untuk mengurangi angka tersebut, WHO menetapkan Hari Pencegahan Bunuh Diri Sedunia. Menurut data WHO, setiap 40 detik, ada satu orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Bayangkan, dalam waktu yang Anda butuhkan untuk membaca paragraf ini, ada seorang manusia di belahan dunia lain yang sudah menyerah dan memutuskan untuk pergi.

Depresi dapat muncul dari berbagai kegagalan dalam hidup. Entah itu kegagalan dalam cinta, rumah tangga, bisnis, atau aspek kehidupan lainnya. Kegagalan ini memicu rasa putus asa yang mendalam, merobohkan semangat hidup yang mungkin pernah begitu berkobar. Depresi sebenarnya adalah respons yang wajar terhadap kegagalan, namun banyak dari kita yang tidak siap menghadapinya. Bukannya mencari bantuan, banyak yang justru terjebak dalam lingkaran setan depresi yang semakin menghancurkan diri mereka.

Sekolah-sekolah kita, yang seharusnya menjadi tempat untuk mempersiapkan anak-anak menghadapi kehidupan, sayangnya sering kali lebih fokus mengajarkan ilmu pengetahuan ketimbang nilai-nilai peningkatan mental. Dari kecil, kita diajari cara mendapatkan nilai bagus, cara menghafal rumus-rumus matematika, tapi kita tidak diajari cara menghadapi kegagalan. Tidak ada pelajaran tentang bagaimana bangkit dari keterpurukan, bagaimana menghadapi kesedihan, atau bagaimana mencari bantuan saat merasa terpuruk. Akibatnya, ketika kegagalan menghantam, banyak anak muda yang kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.

Ketika depresi sudah mengakar dalam pikiran, hidup bisa terasa tidak ada gunanya lagi. Keputusan untuk bunuh diri sering kali dianggap sebagai jalan keluar terakhir. Ini adalah momok yang sangat menakutkan, terutama bagi anak-anak muda yang masih dalam proses berkembang secara mental. Kasus bunuh diri di kalangan remaja dan dewasa muda terus meningkat, mencerminkan betapa seriusnya masalah ini.

Saat ini, pemerintah Indonesia dengan bangga menyediakan hotline pencegahan bunuh diri melalui layanan SEJIWA pada nomor 119 ext 8. Sungguh sebuah inisiatif mulia, jika saja itu benar-benar berfungsi. Namun, cerita di lapangan berbeda. Para penyintas yang pernah mencoba menghubungi nomor itu mengaku tak dapat tersambung atau, lebih ironis lagi, tidak mendapat respons yang diharapkan.

Seolah memahami bahwa kebutuhan akan ruang aman bagi mereka yang berpikiran untuk bunuh diri nyata adanya, sejumlah inisiatif swadaya menghadirkan hotline serupa. Salah satu contohnya adalah BISA Helpline. Namun, alih-alih menjadi solusi jitu, mereka juga mengakui bahwa layanan yang mereka sediakan terbatas. Bayangkan, sebuah tali penyelamat yang hanya kuat untuk beberapa tarikan nafas.

Sandersan Onie, peneliti kesehatan mental dari Black Dog Institute Australia, menegaskan bahwa hotline memang penting. Namun, mari kita tidak terlalu cepat bertepuk tangan. Ia juga menyampaikan kekhawatirannya: hotline yang tersedia "setengah-setengah" justru akan membuat orang-orang kecewa dan kapok mencari pertolongan. Sebuah obat yang bukannya menyembuhkan, malah memperparah luka.

SEJIWA, yang diluncurkan Kementerian Kesehatan pada 2020 sebagai saluran bantuan psikologi bagi masyarakat yang membutuhkan, seharusnya menjadi harapan baru. Tetapi, kenyataannya lebih seperti sebuah billboard besar yang menarik perhatian di jalan raya, tetapi ketika didekati ternyata kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun