Seminggu dua kali, seperti sebuah ritus suci, saya mengunjungi rumah orang tua saya. Pada tiap kedatangan, Ibu selalu menanyakan, "Sudah sarapan atau belum?" Seolah-olah ia lupa bahwa saya ini manusia dewasa yang tahu cara makan sendiri. Pagi itu, seperti biasa, saya tiba di rumahnya. Ibu, dengan usia yang sudah tak lagi muda dan harus dibantu kursi roda, selalu berusaha keras menyajikan makanan untuk saya dengan tangannya sendiri. Favorit saya? Tentu saja, nasi goreng. Ah, pernahkah Anda mencoba nasi goreng terenak yang pernah Anda makan?
Saya pernah makan nasi goreng di depan lapas Kota Serang yang katanya kelezatannya legendaris. Saya juga pernah mencicipi nasi goreng terkenal di Karawaci, depan Mall Shinta Tangerang, bahkan nasi goreng kambing yang tersohor di Jakarta pernah saya nikmati. Namun, entah kenapa, saat semua nasi goreng tersebut disandingkan dengan nasi goreng buatan ibu saya, mereka kalah jauh rasanya.
Padahal, secara komposisi, nasi goreng dari tempat-tempat terkenal tersebut sangat beragam dan lengkap dengan topping. Dari ati ayam, ampela ayam, suwiran daging ayam, hingga sayuran dan berbagai topping tambahan lainnya. Tapi tetap saja, semua itu kalah dengan nasi goreng buatan ibu saya, yang bahan-bahannya hanya terdiri dari bawang, cabe, dan bumbu perasa sederhana lainnya. Bagaimana bisa begitu? Mungkin karena nasi goreng ibu saya dibuat dengan pengalaman dan cinta kasih yang tak terbatas.
Ah, nasi goreng ibu, kenangan manis masa kecil yang tak tergantikan. Kita boleh makan makanan semewah atau seenak apapun, tetapi makanan buatan ibu di rumah selalu membawa kita bernostalgia. Masakan ibu bukan hanya sekedar nasi goreng yang enak, hampir semua masakan ibu saya rasanya lezat. Namun, nasi goreng memiliki tempat khusus dalam benak saya, karena telah saya nikmati bertahun-tahun.
Harumnya serembak terasa sampai menembus sanubari ini, tangannya dengan lihai memotong rempah untuk membuat bumbu nasi goreng untukku, Lihatlah koki terbaik sepanjang masa dalam hidupku ini, tak bosan-bosan tangannya meliuk-liuk diatas wajan sambil menggenggam spatula favoritnya yang terbuat dari kayu. Sungguh pemandangan yang luar biasa untuk seorang ibu yang sudah tidak lagi muda, saat membuatkan nasi goreng untukku selalu bersemengat seolah saya masih anak kecil dalam pandangannya.
Nasi goreng buatan ibu adalah menu yang sering disajikan sejak saya masih kecil, bahkan hingga saya duduk di bangku perkuliahan. Nasi goreng enak selalu menemani pagi hari saya sebelum berangkat sekolah. Entah mengapa, makanan yang saya makan bertahun-tahun tersebut tidak pernah membuat lidah saya bosan. Terkadang, ibu menyelingi dengan menu lain seperti nasi uduk, bubur ayam, nasi kuning, atau makanan khas pagi hari lainnya. Namun, nasi goreng ibu tetap menjadi favorit saya setiap pagi.
Sepertinya ini adalah keajaiban dari sentuhan kasih ibu yang tertuang dalam sebuah masakan. Saat memakannya, ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dan dijelaskan, sehingga membuat pikiran kita merasa bahagia dan merefresh sejenak otak kita. Tangan dingin ibu dalam memasak tidak bisa diragukan lagi karena telah teruji bertahun-tahun lamanya.
Nasi goreng ibu selalu menemani sarapan pagi saya kala itu, sambil ditemani kartun-kartun khas anak 90-an. Nasi goreng yang tercipta oleh koki yang terdidik dari cinta kasih terhadap anak-anaknya menciptakan sebuah rasa yang tidak pernah ada di makanan manapun di dunia ini.
Terima kasih, ibu, kau adalah koki terbaik dalam hidup saya. Nasi goreng sederhanamu bisa membuat anakmu ini merasa bahagia karena rasa yang diciptakan dengan sentuhan cinta darimu. Pagiku menjadi indah dan terkenang berkat nasi goreng yang selalu kau sajikan dikala pagi menjemput.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H