Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
PDIP merupakan partai pemenang Pemilu Legislatif 2014 dengan perolehan suara 18,95% atau 23.681.471 suara (KPU,2014). Sebelumnya PDIP juga merupakan partai politik “tiga besar” sejak Pemilu Legislatif pertama kali diselenggarakan di era Reformasi (Pemilu 1999-2014). Khusus Pemilu Legislatif 1999, PDIP menjadi partai pemenang dengan suara mayoritas sebesar 33,74% atau 35.689.073 (KPU,1999). Namun, ada fenomena politik PDIP yang menarik bahwa sejak era Reformasi PDIP belum pernah sekalipun berhasil mengantarkan kader terbaik mereka menjadi Presiden RI lewat proses “pemilihan langsung” (catatan: Megawati Soekarnoputri menjadi presiden bukan lewat proses Pemilihan, tapi menggatikan Presiden Abdurahman Wahid yang kala itu “dimakzulkan”.
Pada pelaksanaan Pemilu 1999, kemenangan telak PDIP gagal mengantarkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI setelah kalah dari Abdurahman Wahid dalam voting suara Pada Sidang Umum MPR 1999. Selanjutnya Pada Pemilu 2004, PDIP juga gagal mengantarkan pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) mereka setelah kalah dari pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (catatan: Megawati Soekarnoputri maju bertarung dalam kapasitasnya sebagai incumbent Presiden RI). Hal yang sama juga dialami pada Pemilu 2009, PDIP gagal mengantarkan pasangan Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto setelah kalah dari pasangan SBY dan Boediono yang terpilih dengan suara mayoritas.
Dari tiga kali penyelenggaraan Pemilu di era Reformasi kelihatan jelas bahwa tokoh sentral PDIP melekat pada sosok Megawati Soekarnoputri. Bisa dikatakan bahwa PDIP adalah Megawati Soekarnoputri, demikian juga sebaliknya. Namun tampaknya hal tersebut tidak lagi dijumpai Pada Pemilu 2014. Sulit dibantah bahwa tokoh sentral PDIP mulai bergeser ke sosok baru yaitu Joko Widodo (Jokowi) yang saat ini menjadi kandidat Calon Presiden yang diusung PDIP.
Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)
Partai Gerindra merupakan partai baru yang didirikan oleh Prabowo Subianto dan mengikuti pesta demokrasi pertama kali Pada Pemilu 2009. Walaupun baru, Partai Gerindra berhasil meraih peringkat ke-8 atau masuk sepuluh besar dengan perolehan sebesar 4,46% atau 4.646.406 suara (Antaranews.com, 10 Mei 2009). Selanjutnya Pada Pemilu 2014, Partai Gerindra berhasil menjadi partai “tiga besar” dan berada pada posisi tiga dengan perolehan 11,81% atau 14.760.371 suara (Kompas.com, 9 Mei 2009). Capaian yang tentu saja menjawab harapan partai karena berhasil naik peringkat secara signifikan. Apalagi Pemilu 2014 adalah kali kedua bagi Partai Gerindra dalam mengusung kader terbaik mereka yang maju sebagai Capres RI berpasangan dengan Hatta Rajasa (Cawapres), setelah sebelumnya Pada Pemilu 2009 Partai Gerindra mengajukan Prabowo Subianto menjadi Cawapres RI mendampingi Megawati Soekarnoputri.
Perlu digaris bawahi bahwa Pada Pemilu 2009, koalisi PDIP dan Partai Gerindra yang mengusung pasangan Megawati Soekarnoputri – Prabowo Subianto “berhasil” finish pada urutan kedua dengan perolehan suara 26,79% atau 32.548.562 suara (Wikipedia). Hasil tersebut tentu merupakan soliditas kerja koalisi PDIP dan Partai Gerindra, serta tak bisa dilepaskan dari sosok kharismatik Prabowo Subianto sebagai tokoh sentral Partai Gerindra.
Dari duet ke duel
Suhu politik tanah air menjelang pelaksanaan Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 pada tanggal 9 Juli mendatang semakin memanas. Hal ini terlihat dari maraknya kampanye negatif dan kampanye hitam yang dilakukan lewat media (televise, koran, sosial media, dll) ataupun secara terang-terangan oleh pendukung masing-masing pasangan Capres dan Cawapres. Para pendukung, baik pendukung yang terdaftar sebagai tim pemenangan resmi, mesin partai maupun tim “hore”, tentu memiliki motivasi untuk memenangkan pasangan Capres-Cawapres yang mereka dukung dengan berbagai cara sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Entah melalui kampanye terbuka, sosialisasi politik, ataupun melalui akun sosial media (facebook, twitter,dll). Prinsipnya, setiap orang berhak menyampaikan pendapat menurut takaran seleranya. Itulah konsekuensi berdemokrasi.
Khusus untuk mesin partai, maka Pilpres 2014 kali ini memunculkan dua partai utama pengusung pasangan Capres-Cawapres yang bertarung untuk memperebutkan mandat mayoritas rakyat. Dua partai tersebut tentu saja PDIP dan Partai Gerindra. PDIP merupakan rumah politik Jokowi, sedangkan Partai Gerindra merupakan rumah ideologi Prabowo Subianto. Dua partai yang Pada Pemilu 2009 lalu merupakan koalisi utama dalam melawan rezim pemerintahan SBY melalui proses demokratis konstitusional. Namun itulah politik, selalu cair dan sangat dinamis. Seperti istilah bahwa dalam politik tidak ada kawan yang abadi, kecuali kepentingan untuk merebut kekuasaan politik. Gambaran yang sangat pas untuk menjelaskan hubungan politik antara PDIP dan Partai Gerindra Pada Pilpres 2009 dan 2014. Pada Pilpres 2009 merupakan duet koalisi politik, sedangkan Pada Pilpres 2014 saling berduel satu sama lain dengan membentuk koalisi politik masing-masing. Hal tersebut nampak jelas dari isu kampanye yang hari ini dijadikan senjata utama untuk menyerang masing-masing pihak. Prabowo Subianto diserang dengan isu Pelanggaran HAM (dugaan keterlibatan penculikan aktivis mahasiswa) dan FASISME, sementara Jokowi dihajar dengan isu PENCITRAAN, BONEKA POLITIK, KOMUNISME, dan SENTIMEN SARA. Jika Pada Pilpres 2009 PDIP tidak pernah menyinggung soal isu Pelanggaran HAM yang dilakukan Prabowo Subianto, beda halnya dengan Pilpres 2014 kali ini. PDIP menjadi partai terdepan yang menuntut dibukanya kembali kasus penculikan aktivis yang di duga melibatkan Prabowo Subianto. Sebaliknya, Jika Pada Pilgub DKI Partai Gerindra menjadi yang terdepan dalam “menjual” kehebatan Jokowi, saat ini menjadi partai yang terdepan dalam membuka kegagalan kinerja Jokowi dalam pemerintahan DKI maupun semasa menjabat Walikota Solo.
Jadi, tugas kita sebagai anak bangsa adalah melakukan penilaian terhadap kebenaran berbagai informasi yang kita terima terkait kedua pasangan Capres-Cawapres tersebut. Idealnya tidak hanya sebatas informasi mengenai keempat tokoh yang hari ini bertarung memperebutkan kekuasaan politik, tapi juga menganalisa lebih jauh terkait orang-orang yang hari ini berada sangat dekat (RING SATU) dengan kedua pasangan Capres-Cawapres tersebut. Hal tersebut penting mengingat dalam penyelenggaraan roda pemerintahan, kebijakan yang diambil oleh seorang Presiden akan sangat ditentukan oleh karateristik personal Presiden dan advisory system (rekomendasi para penasihat) yang secara efektif memiliki peran lebih besar ketimbang Presiden itu sendiri (Neustadt, 1990). Jika dominasi advisory system lebih kuat dibandingkan karateristik personal Presiden, maka advisory system akan menjadi penyelenggara pemerintahan yang sesungguhnya.
Jangan terkecoh dengan retorika, kewibawaan dan ketegasan, pun demikian jangan sampai gelap mata karena tampilan jujur, sederhana, dan merakyat yang dipertontonkan para pasangan Capres-Cawapres yang sedang bertarung saat ini. Jadilah pemilih kritis dan selalu mengedepankan semangat objektif dalam menilai setiap peristiwa politik secara arif dan bijaksana. Karena sejatinya apa yang nampak tidaklah selalu menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H