Miris. Itulah kata yang pas untuk menggambarkan perlakuan tidak mengenakan yang diterima oleh masyarakat yang tidak mampu setiap kali berobat ke rumah sakit, tak peduli memiliki kartu berobat gratis atau tidak. Sudah seperti mau nonton bioskop saja yang bisa masuk dengan membeli karcis terlebih dahulu. Kalaupun bisa masuk dengan menggunakan kartu berobat gratis, tetap selalu diperlakukan sebagai warga kelas dua yang hamper tak ada harganya. Paradigma pelayanan Rumah Sakit kita sudah sangat capital minded yang berorientasi profit, tak peduli Rumah Sakit umum sekalipun, apalagi yang jelas-jelas Swasta. Indikator sederhanya adalah dengan melihat berapa banyak pasien yang tidak diterima bahkan dipulangkan akibat tidak memiliki uang untuk membayar. Bahkan tak jarang pasien yang terpaksa pulang selagi masih dalam masa perawatan di RS akibat sudah kehabisan daya untuk sekedar memikirkan biaya yang harus dikeluarkan selama berobat. Ada yang salah dengan paradigma pelayanan RS kita.
Ada yang hilang dan terabaikan menyangkut dengan filosofi yang berkaitan dengan paradigma pelayanan kesehatan di RS kita. Kewajiban pelayanan kesehatan dengan mengutamakan keselamatan pasien sengaja diabaikan. Padahal sangat jelas bahwa asas dan tujuan Rumah Sakit sebagaimana yang termuat dalam Pasal 2 UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit mengatakan bahwa Rumah Sakit diselenggarakan berasaskan Pancasila dan didasarkan kepada nilai kemanusiaan, etika, dan profesionalitas, manfaat, keadilan, persamaan hak dan anti diskriminasi, pemerataan, perlindungan dan keselamatan pasien, serta mempunyai fungsi sosial.
Dalam asas dan tujuan Rumah Sakit diatas sama sekali tidak terdapat kata atau kalimat yang berkaitan dengan penafsiran-penafsiran tentang pembiayaan atau aspek profit/komersialisasi dalam melakukan pelayanan kesehatan ke masyarakat. Namun jika aturan tersebut kita benturkan dengan realitas RS hari ini maka dengan penuh keyakinan kita bisa simpulkan bahwa ada yang terabaikan dari prinsip pelayanan kesehatan Rumah Sakit saat ini. Disayangkan banyak dari masyarakat yang belum mengetahui hal tersebut, dan pemerintah seolah diam sembari menganggap tidak terjadi apa-apa. Dalam kondisi ini siapa yang memiliki kewajiban untuk meluruskannya ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H