Umar bin khatab adalah sosok sahabat nabi dan juga khalifah ke dua Islam. Kisah hidupnya menarik untuk diikuti, terlebih ditengah hiruk pikuk politik Indonesia saat ini. Saya mulai menelusuri kisah Umar Bin Khatab tatkala mengikuti perkembangan politik terkait salah satu Calon Presiden RI 2014-2019 yang dikaitkan dengan isu pelanggaran HAM tahun 1998 silam. Dialah Prabowo Subianto, mantan Danjen Kopassus dan Pangkostrad TNI AD. Bagi kalangan tertentu, khususnya pihak yang hari ini berada pada posisi berseberangan dengan beliau, menganggap Prabowo Subianto tidak layak untuk tampil sebagai Calon Presiden (Capres) karena memiliki “noda hitam” di masa lalu. Bagi mereka track record seseorang adalah hal paling mendasar yang harus dijadikan patokan dalam memilih pemimpin. Prabowo Subianto dianggap tidak memenuhi kriteria tersebut karena merupakan pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus penculikan aktivis 1998.
Atas dasar informasi tersebut, muncul pertanyaan dalam benak saya; Apakah seorang dengan sejarah “hitam” masa lalu tidak berhak untuk menjadi pemimpin di masa depan ?. Rasa penasaran tersebut semakin besar tatkala saya membaca sebuah artikel dengan judul “Ilusi Pemimpin Besar” yang ditulis oleh salah satu tokoh panutan saya dalam bidang psikologi politik. Pesan yang ingin disampaikan dalam tulisan tersebut adalah seorang pemimpin kharismatik dengan cirri yang retorik, keras, menonjolkan kekuatan, dan kewibawaan, berpotensi besar menjerumuskan pengikutnya menuju perusakan massal. Ini bisa dijumpai pada Hitler, Jim Jones, Mussolini, Napoleon, Saddam Husein, Joseph Stalin dan Kim Jong Il. Disatu sisi, teori tersebut bisa dibenarkan, namun rasanya kurang pas jika itu dijadilan landasan untuk melakukan generalisasi terhadap semua pemimpin kharismatik. Apalagi secara terang-terangan mengabaikan prinsip nilai yang dijadikan pedoman hidup para pemimpin tersebut. bukankah teori sudah menjelaskan bahwa perilaku merupakan perwujudan dari basic assumption atau asumsi dasar berkaitan dengan keyakinan yang dianut seseorang. Terkait dengan prinsip nilai yang dianut berdasarkan keyakinan tersebut, akhirnya saya menelusuri kisah salah satu pemimpin besar dalam sejarah peradaban Islam. Dialah khulafaur rasyidin Umar Bin Khatab.
Umar Bin Khatab, sosok tepat yang bisa dijadikan rujukan dalam menilai track record seorang pemimpin. Terlebih dalam kapasitasnya sebagai sahabat Rasullullah SAW maupun sebagai Khalifah umat. Rasanya tak ada yang meragukan “kekejaman” masa lalu khalifah yang satu ini. Bukan hanya terkenal karena telah membunuh banyak orang, namun juga telah secara sadis mengubur putrinya hidup-hidup sebagai bagian dari pelaksanaan adat Mekkah yang masih barbar. Tidak hanya terkenal kejam, Umar juga terkenal sebagai peminum anggur yang hebat.
Itulah tinjauan singkat terkait latar belakang kelam Umar Bin Khatab sebelum beliau bertobat dan menjadi Khalifah umat. Jika Rasullullah memiliki cara pandang seperti manusia kebanyakan saat ini, apakah bisa seorang dengan sejarah kelam masa lalu kemudian menjadi pemimpin umat? Jika RAsullullah memiliki pandangan seperti kebanyakan orang saat ini, apakah mungkin beliau bisa menerima menjadi salah satu sahabat yang sangat dipercaya beliau? Ataukah Rasullullah lupa bahwa kelak Umar Bin Khatab bisa menjadi ancaman serius terhadap proses “demokrasi” dalam Islam? Lantas apakah setelah masa kepemimpinan khalifah Umar Bin Khatab selesai, beliau telah berhasil menjerumuskan pengikutnya ke dalam era perusakan dan penghacuran massal?
Memang benar bahwa terlalu jauh rasanya membandingkan seorang Umar Bin Khatab, khalifah umat, sahabat Rasul, dengan tokoh politik sekelas Prabowo Subianto. Namun bukan juga sebuah kenaifan jika kita berkesimpulan bahwa Umar Bin Khatab juga merupakan seorang manusia biasa yang memiliki struktur otak seperti manusia pada umumnya, termasuk Prabowo Subianto. Terlebih studi telah membuktikan bahwa otak manusia bukanlah perangkat keras yang tidak bisa berubah. Terbukti, pengalaman hidup adalah lingkungan yang bisa merubah struktur otak manusia (neuroplastisitas). Artinya, tidak ada perilaku yang bersifat menetap dalam diri manusia apabila dia memiliki kemauan keras untuk menjadi pribadi yang baik.
Atas dasar asumsi diatas, bagi saya tak ada yang salah dengan sikap politik maupun masa lalu Prabowo Subianto. Terlebih jika keseluruhan niat untuk mencalonkan diri dilandasi oleh semangat untuk memperbaiki bangsa dan mensejahterakan rakyat. Selamat berjuang Pak Prabowo Subianto, Merdeka !
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H