Kurikulum Merdeka Belajar, yang dicanangkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, bertujuan untuk memberikan kebebasan kepada sekolah dan guru dalam menyusun dan mengembangkan kurikulum sesuai dengan kebutuhan dan potensi masing-masing siswa. Konsep ini seolah menjadi angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia yang selama ini dianggap kaku dan terlalu terpusat. Namun, di balik euforia dan optimisme yang diusung, ada beberapa aspek yang patut dikritisi agar tujuan mulia dari kurikulum ini benar-benar tercapai.
1. Implementasi yang Tidak Merata
Merdeka Belajar menjanjikan kebebasan bagi sekolah untuk berinovasi, tetapi kenyataannya, tidak semua sekolah memiliki sumber daya yang cukup untuk mengimplementasikan perubahan tersebut. Sekolah-sekolah di daerah terpencil seringkali kekurangan fasilitas, guru berkualitas, dan akses terhadap teknologi. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara sekolah di perkotaan dan pedesaan. Alih-alih mendorong inovasi, kebijakan ini justru dapat memperlebar ketimpangan pendidikan.
2. Kesiapan Guru dan Siswa
Kurikulum yang fleksibel menuntut guru yang kreatif dan adaptif, namun tidak semua guru siap dengan perubahan ini. Banyak guru yang masih terbiasa dengan metode pengajaran konvensional dan belum mendapatkan pelatihan yang memadai untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan konsep Merdeka Belajar. Selain itu, siswa juga memerlukan bimbingan yang intensif agar mampu belajar secara mandiri dan kritis, yang tidak semua guru dapat fasilitasi dengan baik.
3. Evaluasi dan Pengawasan
Dengan adanya kebebasan dalam penyusunan kurikulum, diperlukan sistem evaluasi dan pengawasan yang ketat untuk memastikan bahwa standar pendidikan tetap terjaga. Namun, mekanisme evaluasi dan pengawasan yang ada saat ini belum cukup memadai untuk mengakomodasi fleksibilitas yang diusung oleh Merdeka Belajar. Akibatnya, bisa saja terjadi penurunan kualitas pendidikan jika tidak ada kontrol yang tepat.
4. Sekadar Gimmick?
Ada kekhawatiran bahwa Kurikulum Merdeka Belajar hanya merupakan gimmick politik tanpa perencanaan yang matang dan komprehensif. Kebijakan ini terkesan lebih mengedepankan pencitraan daripada upaya yang serius dalam memperbaiki sistem pendidikan. Jika tidak disertai dengan strategi yang jelas, pendanaan yang memadai, dan komitmen untuk terus memperbaiki, maka konsep ini tidak akan menghasilkan perubahan yang signifikan.
Saran untuk memperbaiki Kurikulum Merdeka Belajar, diperlukan pemerataan sumber daya pendidikan dengan mengalokasikan anggaran untuk infrastruktur dasar dan fasilitas pendidikan di daerah terpencil, serta menyelenggarakan pelatihan intensif bagi para guru agar siap mengimplementasikan kurikulum yang fleksibel ini. Sistem evaluasi dan pengawasan yang transparan harus dikembangkan untuk memastikan standar pendidikan tetap terjaga, sementara panduan yang jelas tentang penyusunan kurikulum perlu disediakan agar sekolah dapat berinovasi dengan tetap memenuhi standar minimum. Melibatkan orang tua dan masyarakat dalam proses pendidikan juga penting, sambil memastikan bahwa kebijakan didukung oleh pendanaan yang memadai dan disesuaikan secara berkala berdasarkan feedback dari lapangan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan Kurikulum Merdeka Belajar dapat menghasilkan perubahan positif yang signifikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kesimpulan