Sebagai upaya mengatasi perubahan iklim, Indonesia diberikan mandat untuk ikut andil dalam pengurangan emisi. Indonesia menetapkan target penurunan emisi sebesar 29% pada tahun 2030, dimana pada tahun 2025 Indonesia menargetkan bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebesar 23%. Salah satu upaya yang tengah dikembangkan di Indonesia untuk mengurangi emisi adalah melakukan transisi energi yang semula menggunakan energi fosil menjadi EBT. Untuk membantu mensukseskan program pemerintah dan pencapaian target bauran EBT di tahun 2025, PT Pertamina merilis bahan bakar dengan tambahan bioetanol yang diberi nama Pertamax Green.
Saat ini Pertamax Green menjadi salah satu sorotan menarik di dunia otomotif. Pertama kali diluncurkan pada 24 Juni 2023 Pertamax Green langsung menjadi pembicaraan karena beberapa keunggulan menarik yang diberikan oleh bahan bakar dengan titel 'ramah lingkungan' yang dikeluarkan oleh PT Pertamina. Dengan harga yang cukup terjangkau sebesar Rp. 13.900,-/liter masyarakat sudah mendapatkan bahan bakar ramah lingkungan dengan nilai RON tinggi. Terdapat dua jenis pertamax green yang sudah dirilis oleh pertamina, yaitu Pertamax Green 92 dan Pertamax Green 95. Perbedaan keduanya terdapat pada nilai RON dan persentase bioetanol yang ditambahkan.
Pertamax Green 92 memiliki nilai RON 92 dengan komposisi 7% bioetanol dan 93% pertalite. Sedangkan Pertamax Green 95 menawarkan nilai RON yang lebih tinggi sebesar 95 dengan komposisi 5% bioetanol dan 95% pertalite. Nilai RON yang tinggi dapat memberikan keuntungan berupa peningkatan efisiensi penggunaan bahan bakar sehingga konsumsi bahan bakar menjadi lebih rendah.
Pertamax Green 95 menawarkan bahan bakar dengan emisi gas buang rendah karena mengandung 5% bioetanol. Bahan baku bioetanol yang digunakan untuk pembuatan pertamax green berasal dari tetes tebu atau molase yang diproduksi oleh PT Energi Agro Nusantara yang berlokasi di Mojokerto, Jawa Timur. Tetes tebu yang digunakan berasal dari pengolahan pabrik gula. PT Energi Agro nusantara menghasilkan bioetanol dengan tingkat kemurnian 99.5% dengan standar fuel grade dan kapasitas produksi mencapai 100 kl/hari.
Dampak yang ditimbulkanÂ
Rencana transisi energi yang sedang berlangsung terlihat sangat menjanjikan, namun keberlangsungannya masih menjadi bahan pertanyaan. Pada tahun 2024 direncanakan pemerintah akan mengimpor 5.4 juta ton gula, dimana 4.77 juta ton gulanya digunakan untuk pemenuhan bahan baku industri. Hal tersebut cukup membuat miris, karena ternyata Indonesia masih membutuhkan pasokan gula yang besar untuk pemenuhan kebutuhan pangan. Menurut data National Sugar Summit Indonesia 2023 pada cnbc, produksi tebu tidak sebanding dengan konsumsi tebu di Indonesia.Â
Selain itu, luas lahan perkebunan tebudi Indonesia dari tahun 2019-2022 Â menunjukan peningkatan luas yang signifikan. Namun, ironinya menurut data yang sama tingkt produktivitas gula dalam ton per hektar mengalami penurunan dari tahun 2022-2023. Hal ini memunculkan pertanyaan baru dengan produksi yang tidak sebanding dengan konsumsi, luas lahan tebu yang terus bertambah berpotensi memicu pengalih fungsian lahan hutan menjadi perkebunan, dan anomali produktivitas yang tidak sebanding dengan penambahan luas perkebunan tebu.Â
Dari uraian tersebut, dapat dipertanyakan dan ditegaskan kembali keberlanjutan potensi molase sebagai bahan bakar dan mengingat molase merupakan roduk sampingan pengolahan gula yang saling berkaitan dengan produksi gulanya.Â