By. Fikri Jamil Lubay
Bolak-balik membaca beberapa literatur hasil kuliah ilmu jiwa 16 tahun yang lalu memberikan banyak inspirasi yang salah satu babnya berjudul “AFEK”. Manusia bisa tersenyum, tertawa, sedih dan berduka semuanya karena kita memiliki afek atau emosi. Emosi sebetulnya memiliki makna yang positif sekali karena sangat berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan kita sebagai makhluk ragawi.
Sesungguhnya emosi dan marah merupakan sesuatu yang sangat berbeda. Marah merupakan salah satu bagian dari emosi. Sama halnya dengan rasa takut, benci dan kecewa serta manik-manik afek lainnya. Karena itu dari awal perlu sekali dibedakan antara marah dengan emosi. Contoh yang sangat kentara adalah persamaan yang sering disebut antara marah dengan emosi yaitu ketika kita menyebut levis untuk jeans, menyebut aqua untuk air mineral dan contoh-contoh sehari-hari lainnya.
Terus, mengapa kata “marah” sepertinya menjadi dominan dan idola untuk menyebut saya sedang “emosi”...?
Urusan sintaksis Bahasa Indonesia memang terkadang rumit. Bahasa Indonesia begitu majemuk menyebut akronim, sinonim, antonim, idiom, gaya bahasa serta sebutan lainnya yang menyebabkan penggunaan bahasa oleh “si penyebut” kata membutuhkan penjelasan pribadi yang juga menjadi sulit dimengerti dan difahami oleh orang kebanyakan. Alias multi tafsir Termasuk cerita “... PARA PEJABAT PNS MENERIMA TUNJANGAN YANG DISEBUT “TUNJANGAN MARAH”...
Ada-ada saja, usil punya usut ternyata berjam-jam memahami itu juga rumit walaupun tidak multi tafsir untuk saya yang baru belajar membaca dan menulis. Karena cukup diterjemahkan saja makna harfiahnya, maka tuntas sudah bahwa “TUNJANGAN MARAH” ya... berarti para pejabat PNS boleh marah dengan para staf karena sudah menerima “tunjangan”. Mau salah mau benar terserah, pokoknya marah saja. Kalau tidak marah bukan pejabat PNS. Karena kalau tidak marah, dipastikan kita tidak bekerja sebagai pejabat yang seharusnya.
Jadi raport kelayakan kita menjadi pejabat PNS cukup dinilai dari seberapa banyak marah dengan staf kita. Ah.. ringan sekali jadi pejabat PNS. Kalau lah ini benar artinya kita tidak perlu berbasa basi, tidak perlu “setor muko” seperti tulisan yang kemarin itu. Tidak perlu juga kita menghitung seberapa sakit rasanya staf kita yang kita marahi itu. Karena memang kita ditugaskan untuk “marah”.
Cerita tiga puluh tahun yang lampau atau tepatnya tahun 1986
Saat itu saya ingat betul saat masih kelas tiga Sekolah Dasar di sebuah pelosok desa di Lubay sana. Kami yang masih SD waktu itu diajar oleh seorang guru agama Islam dan setiap waktu kalau mau masuk ke kelas wajib hafal beberapa ayat-ayat al-qur’an yang sudah diajarkan. Beberapa murid tidak bisa menghafal dan saya sebagai murid waktu itu menjadi orang yang ditugaskan oleh guru agama tersebut untuk memegang mistar kayu yang panjangnya kurang lebih satu meter sebagai alat untuk memukul teman-teman karib saya yang tidak hafal.
Saya yang masih berumur sembilan tahun waktu itu, pada saat pertama kali melakukan tugas yang tidak seharusnya ditugaskan. Saya begitu banyak mikir dan dengan penuh keterpaksaan tetap saya lakukan juga. Yang ada dibenak saya adalah, karena ini ditugaskan oleh guru jadi harus saya lakukan dengan senang hati. Ternyata yang terjadi kemudian adalah ada perasaan berontak karena sangat tidak masuk akal. Semalaman saya tidak bisa tidur dan terbayang dengan apa yang dirasakan oleh teman-teman saya satu kelas itu.
Keesokan harinya peristiwa yang sama terjadi lagi, anehnya tetap saya yang ditugaskan untuk memukul teman-teman yang tidak bisa menghafal sebagai pra syarat untuk masuk kelas. Dihari ketiga saya sengaja untuk tidak membaca hafalan dan semua murid ternyata tidak ada yang hafal tugas dari guru agama saya tersebut.