By. Fikri Jamil Lubay
Masih lekat dalam ingatan saya, ketika pertama kali meninggalkan sebuah desa di Lubay sana yang asri dan sejuk dengan keterisolirannya. Jalanan masih liat berkubang lumpur sehingga untuk menjangkau kota membutuhkan waktu hampir setengah hari untuk jarak yang cuman 30 km. Suasana desa yang temaram dimalam hari dengan obor-obor yang bersahutan membangkitkan energi untuk segera keluar dari desa itu. Bukan tidak rindu dengan desa itu, sekali lagi bukan. Justru kerinduan itu yang menjadi spirit hebat untuk segera “angkat kaki” dari desa ini.
Masih ingat dengan jelas, kalau malam hari listrik bermesin genset sambung-menyambung hidup hanya untuk "orang berada" saja. Lebih sering kami yang waktu itu masih SD untuk belajar saja harus ditemani dengan lampu teplok dengan bahan bakar minyak tanah.
Nenek saya pernah bilang, “ Ah...cung enggak usah lah lanjut sekolah.. kakak mu yang dua orang saja kalo tamat belum tentu bekerja...". Gaya lama nenek saya itu masih melekat hangat disanubari dan permakluman pasti langsung menjadi keputusan para orang tua kebanyakan didesa saya waktu itu. Karena rerata pemuda desa yang pernah melanjutkan sekolah pasti pulang ke desa dan menjadi penyadap karet, menikah dan punya anak banyak lagi. Terus begitu....
Untuk saya yang baru berumur belum genap 12 tahun dan baru menyelesaikan pendidikan sekolah dasar mendengar nasihat nenek itu, langsung menggelegak. Jiwa muda itu entah datangnya dari mana langsung mencoba berontak. Saya yang mau disekolahkan dikecamatan tidak mau berangkat ke sekolah kalau tidak sekolah ke Palembang. Saya juga mikir waktu itu “aneh”, kenapa harus milih Palembang sebagai tempat bersekolah. Kan kalau di ibukota kecamatan bisa pulang-pergi dan bisa sambilan mencari uang membantu orang tua. Kesimpulannya, saya dengan segala keterbatasan dan sedikit maksa sekolah wajib di Palembang walaupun dengan risiko masuknya sudah telat hampir satu bulan.
Waktu pun berlalu dan sekarang beruntung sekali rasanya saya tidak mengikuti nasihat nenek waktu itu (kejam sekali sepertinya Nenek kami yang sekarang sudah almarhumah..). Saya bisa kembali ke desa yang dulu melalui tanah liat berlumpur dan sekarang sudah beraspal dan sebagian ada yang dicor beton. Jarak kota ke desa yang dulu hampir setengah hari itupun cuma ditempuh 40 menit saja. Desa pun sudah terang-benderang. Tidak nampak lagi suasana desa. Malam itu kebetulan kami menghadiri hajatan keluarga yang melangsungkan pernikahan disana.
Ijab kabul pun sudah berlangsung, selesai itu undangan digiring oleh tuan rumah masuk ke tenda (didesa kami disebut “bangsal”). Hampir semua undangan menuju kesitu termasuk saya dan keluarga. Acara resmi pun selesai. Dan kemudian....
Suara musik keras mulai terdengar..., trippingan... ah betul terippingan... diikuti dengan musik disco-remix dan entah musik apa namanya... yang jelas para pemuda-pemudi asik dengan musik itu berjoget ria seperti orang yang sedang kerasukan setan...ternyata betul musik setan itu sudah sampai ke desa yang dulu ada di pelosok dan terisolir.
Tidak ada lagi budaya “ngule”, “tukar kain”, “ningkoan”, tidak ada lagi “pantun bersahut” yang melegenda itu... bahkan “lelang kue” itu pun sekarang menjadi “hutang piutang”... tidak ada lagi budaya obor untuk mengaji. Tidak ada lagi “Garang Kaji Maghdum”, “Garang Ketif Meron”... tempat menimba ilmu alat untuk sekedar bisa azan di Mesjid... buuuset budaya desa itu sudah jauh bergeser... namun, apakah cukup sampai disitu....?
Suasana malam itu pun semakin larut tanda malam telah jatuh menjelang. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Disebuah sudut bangsal beberapa kelompok pemuda berkumpul sambil cengar-cengir dan cengengesan. Diremang-remang malam itu terlihat mereka menenggak minuman keras dan meminum obat yang tidak kelihatan warnanya... ah benar-benar sudah rusak desa ini. Sebegitu noraknya budaya desa ini, tidak ada lagi rasa malu.. transaksi narkoba pun telanjang didepan mata anak kecil dan para ibu. Orang tua seperti tidak punya hak dan tidak berdaya lagi mengingatkan anaknya masih-masing dan anak-anak kecil pun mendapatkan “pembelajaran” maha penting dari para pemuda generasi penerus desa ini...
Ternyata... Nenek saya yang janda sejak lama serta tidak pernah mengenyam bangku sekolah dulu itu sudah sangat modern... Beliau pernah berujar : “...nanti kamu kalau sekolah akan rusak, karena orang-orang kota pada rusak, nanti kamu akan menularkan kerusakan itu ke desa kita Cung...”. ternyata rasa khawatir nan sederhana ala nenek saya itu beneran terjadi...