By. FIKRI JAMIL LUBAY
Siapa yang tidak kenal dengan “Ahok” Gubernur sebuah Daerah yang berlabel khusus Ibukota Jakarta. Nama lengkapnya menjadi topik perbincangan hangat dihampir setiap sudut diskusi tentang Jakarta, khususnya setelah Beliau mengambil untung dengan majunya Jokowi menjadi Presiden setahun yang lalu. Basuki Cahaya Purnama alias “ AHOK” sang mantan Bupati Belitung Timur yang pernah gagal jadi gubernur di Provinsi Bangka-Belitung .
Perannya selama menjadi wakil gubernur dibawah Jokowi dan style yang jauh berbeda dari Jokowi menjadikan pria ini mudah dikenal. Ahok yang lugas dan sering “menabrak” pakem kepemimpinan ewuh-pakewuh ala ketimuran, menjadikan rakyat khususnya Jakarta dengan cepat dan segera dapat melupakan Jokowi sebagai eks-gubernur DKI Jakarta. Tongkat estafet itu seperti tidak pernah dirasakan berpindah dari Jokowi ke Ahok, saking cepatnya Ahok ber-asimilasi, ber-akulturasi dan ber-interferensi dalam budaya Jakarta yang serba Multikultur.
Blak-blakan, ceplas-ceplos sering menjadi modal “Ahok” dalam melibas “lawan-lawan” politiknya baik dilingkungan birokrasi maupun di legislatif. “Jebakan Batman” banyak disiapkan oleh para musuh serta orang orang-orang yang dengan terpaksa melepaskan dunia nyamannya selama bertahun-tahun seperti kasus RS Sumber Waras, tidak menjadikan “Ahok” pudar ditengah masyarakat Jakarta. Gerakan save”Ahok” dan dukung “Ahok” tetap bergema dan semakin kencang tidak hanya terjadi di wilayah Jakarta sang empunya Gubernur tetapi juga seluruh masyarakat Indonesia.
Partai-partai politik yang biasanya segan dan malu-malu kucing untuk merekreut calon, seperti berlomba untuk meminta tanda tangan “Ahok” untuk menjadi Gubernur DKI agar tidak menjadikan kendaraan “independen” tetapi ber-“mobil” Partai Politik. Seperti yang telah dilakukan oleh Partai NASDEM yang terang-terangan mendukung Akok untuk menjadi Gubernur di DKI. Citra “pemarah”, ‘Emosional”, “sumbu pendek”, “tidak ada sopan santun”, “tidak ada tata kerama” dan labelisasi “gila” lainnya ala Jakarta tidak menjadikan popularitas “Ahok” jatuh. Bahkan “Ahok seperti melenggang sendirian tanpa musuh. Orang-orang seperti Yusril Ihza Mahendra, Ahmad Dani, Adiyaksa Dault apalagi Farhat Abbas, sepertinya hanya menjadi “pemanis” saja dan tentu saat ini belum cukup memadai untuk turun gunung melawan “Ahok”.
Kalau begitu, siapa yang bisa menjadi lawan AHOK yang sepadan...?
Bagaimana kalau....
“ALEX NOERDIN, GUBERNUR SUMATERA SELATAN”
Mendengar nama Alex Noerdin, tentu masyarakat Indonesia juga tidak akan asing dan masyarakat jakarta tidak perlu alergi. Alex merupakan Gubernur “gila”, melebihi kegilaan Ahok. Alex Noerdin memang pernah kalah melawan Jokowi-Ahok dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta yang lalu. Orangnya santun, rahangnya pendek mengikuti ketegasannya dalam memerintah hampir dua periode di Sumatera Selatan. Alex juga merupakan seorang birokrat ulung yang menjadi politisi tangguh. Sayang kalau jabatannya yang sebentar lagi di Sumatera Selatan tidak dimanfaatkan di Pusat.
Kekalahan Alex Noerdin di Pilkada DKI yang lalu, mungkin lebih banyak karena belum mendapat restu dari seluruh masyarakat Sumatera Selatan. Masyarakat masih butuh Beliau dengan bermacam ke-gila-annya.