“Birokrat ya birokrat, politisi ya politisi...”, demikian kalimat dikotomi yang dipakai untuk “memecah” percakapan mungkinkah seorang PNS/TNI/POLRI menjadi Politisi...? dulu terutama direzim-rezim sebelumnya, khususnya di zaman orde baru PNS bisa menduduki jabatan sebagai Gubernur, Walikota, Bupati dan dizamannya Para Birokrat itu juga tidak sedikit yang menjadi anggota DPRD, DPR dan MPR. Bahkan tentara dan polisi pun dulu membentuk sebuah fraksi di DPR dengan sebetuan Fraksi ABRI.
Itu dulu, beda dengan sekarang. Undang-Undang Pemilu (Pilkada) yang dikuatkan juga salah satunya oleh UU tentang Aparatur Sipil Negaera (ASN), dalam hal untuk menjaga netralitas PNS menetapkan bahwa tidak bolehnya PNS (ASN) bertarung (bersaing) duduk dijabatan politis sekelas Bupati/Walikota/ Gubernur serta juga UU TNI/POLRI mengatur yang hal sama. Korban teranyar adalah anak Mantan Presdien RI ke-6, paska Pilkada Jakarta yang gagal dimenangkannya.
Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) adalah pria ganteng, cerdas dengan karir yang moncer di TNI AD sekaligus pemilik banyak gelar akademik dari univeritas bergengsi dunia diusia muda. AHY juga merupakan salah satu kader terbaik TNI AD yang harus rela menerima konsekuensi dan mengakhiri karier militer berpangkat Mayor TNI AD sebagai sebuah pilihan terhadap aturan. Negara ini sudah mengatur bila ingin bertarung mengikuti Pilkada maka siapa pun anggota TNI/POLRI/PNS harus mengundurkan diri tidak hanya dari jabatannya tetapi juga dari pekerjaannya.
Peraturan yang tidak membolehkan PNS/TNI/POLRI ini sejatinya dimaksudkan agar semua aparat bersifat netral dan gentle (jantan) untuk maju. Niat yang baik sebetulnya, namun dengan haramnya para PNS termasuk juga anggota TNI/POLRI bertarung didalam sebuah proses demokrasi akibatnya adalah :
Pertama : Jelas Institusi PNS/TNI/POLRI kehilangan kader terbaiknya. Karena bila mereka tidak terpilih maka mereka tidak bisa kembali ke kesatuannya atau institusinya. Seperti yang terjadi pada kasus AHY yang kalah di Pilkada DKI.
Kedua : Selagi aturan ini masih berlaku maka, jangan harap melihat anak muda birokrat dengan fikiran jernih menjadi pemimpin dalam jabatan politis seperti Gubernur/Walikota/Bupati ataupun juga anggota DPRD/DPR. Mungkin naif juga dibilang yang bersangkutan itu rakus jabatan, akan tetapi faktanya perjalanan panjang birokrasi hanya dimiliki oleh mereka yang bekerja sebagai PNS/TNI/POLRI.
Ketiga : Yang paling rugi tentu adalah masyarakat. Dengan “haramnya” PNS/TNI/POLRI yang masih aktif bekerja maka mereka baru bisa full mengabdi dan tidak merasa was-was setelah memasuki usia pensiun (usia senja). Usia senja PNS/TNI/POLRI yang baru mulai berkecimpung dan mengabdi dimasyarakat dan menjadi Bupati/WAKO/Gubernur tentu tidak mudah. Semua juga paham bahwa para pensiuan bukan lagi usia produktif dan secara anatomi sudah mulai ada masalah degeneratif. Dan, pastinya mereka tidak bisa lagi produktif dengan ide dan gagasan memajukan daerahnya.
Tidak jarang kita mendengar Gubernur, Bupati atau Walikota serta anggota DPR yang tidak memiliki pengetahuan dan pengalaman yang memadai sebagai birokrat mengambil kebijakan sesuka hati. Gonta-ganti pejabat seenak perutnya sendiri. Tidak suka, ganti. Tidak sepakat, ganti. Tidak sepaham, ganti. Bukan barisannya, ganti. Pengkritik, Ganti. Sehingga lahir lah para raja-raja kecil didaerah yang sukar diingatkan (tidak mau dikritik). Mereka lahir dari sistem yang dibangun oleh penguasa-penguasa yang ingin mematenkan kekuasaannya. Maka lahir lah dinasti-dinasti politik didaerah. Banyak daerah menjadi miniatur kerajaan yang sepertinya wajib diperintah secara turun temurun oleh “dinastinya”.
Akibatnya banyak sekali pejabat karbitan. Asal pendukung, punya akses (koneksi), punya modal (uang), diakomodasi menjadi pejabat. Sebagaimana barusan terjadi di Kabupaten Klaten yang Bupatinya di OTT lembaga anti rasuah (KPK) yang melakukan “lelang jabatan” persis seperti lelang ongkol ayam di pesta pernikahan. Hal ini tentu saja menyisakan bejibun masalah yang berakhir dengan mandeg-nya pelayanan publik (masyarakat) dan berguncangnya (instabilitas) pemerintahan di daerah tersebut.
Jamak ditemui dihampir seluruh daerah para PNS “terpaksa” bahkan terkadang “dipaksa” untuk berpolitik seperti membagikan sembako, menyebar kartu-kartu paslon, keluarganya diminta untuk memilih paslon tertentu, dan lain-lain. Karena kalau tidak melakukan itu maka mereka akan dianggap tidak berkeringat dan tidak berjasa sehingga mengancam karir birokrat mereka. Mereka pun terkadang harus menerima nasib dipangkas dari jabatannya.
Jamak juga terjadi dibeberapa daerah prombakan kabinet dilakukan sejam atau dua jam setelah Walikota/Bupati/ Gubernur dilantik. Mereka yang dianggap tidak sepaham itu pun akhirnya dibangkupanjangkan karena dianggap bukan dalam barisan, penghambat pekerjaan, bukan orang saya, dan lain sebagainya. Bersyukur lah bila Walikota/Bupati/Gubernurnya paham bahwa jabatan PNS itu harus profesional.