Mohon tunggu...
fikrijamil
fikrijamil Mohon Tunggu... Administrasi - Wong Dusun Tinggal di Kampung

Menulis Untuk Menjejak Hidup

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ritual Ramadan Itu Bernama Naiknya Harga Bahan Pokok

24 Mei 2017   10:59 Diperbarui: 24 Mei 2017   12:19 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berita di salah satu stasiun TV Swasta naiknya harga bahan pokok. Dokpri

Ritual Ramadhan Itu bernama Naiknya Harga Bahan Pokok

By. Fikri Jamil Lubay

Ramadhan adalah bulan penuh impian. Bulan penuh maaf dan ampunan bagi orang-orang Islam yang beriman. Bulan yang paling ditunggu. “Purnama”  bagi seluruh bulan. Sambutan atas datangnya Ramadhan tidak hanya dilakukan oleh umat Muslim tetapi juga umat-umat lain yang mendapatkan multiflier effect dari hadirnya bulan suci Ramadhan.

Ritual atas hadirnya ramadhan tidak hanya dilakukan untuk memperbanyak baca ayat suci al qur’an, memperkaya sholat dan ibadah sunnat lainnnya, akan tetapi juga biasanya akan diikuti dengan pengaturan ritual menu santapan untuk kebutuhan berbuka dan sahur.

Aneh tapi nyata, puasa yang sejatinya dimaksudkan untuk menahan nafsu dan dahaga termasuk makan dan minum justru dibulan ini seringkali diikuti dengan ‘puasa’ yang lain yaitu langka dan mahalnya harga bahan pokok di pasar-pasar.

Para suami dibulan ini tentu harus bekerja ekstra keras untuk mencukupi kebutuhan keluarga akan bahan pokok karena melangitnya harga kebutuhan tersebut. Operasi pasar yang selalu dilakukan baik oleh pemerintah maupun pihak-pihak lain seerti organisasi masyarakat, BUMN dan lain-lain pun dimaksudkan untuk memutus kesenjangan rantai supply-demand terhadap kebutuhan bahan pokok yang tinggi di bulan ramadhan. Aparat kepolisian pun harus membentuk satgas anti mafia pangan agar tidak terjadi penimbunan bahan pokok menjelang dan saat ramadhan berlangsung.

Informasinya harga-harga bahan pokok Per hari ini, Rabu, 24 mei 2017 rerata melambung tinggi padahal puasa belum dimulai. Misalkan harga bawang putih mencapai Rp 70.000 /kg. Bawang merah antara Rp 35.000- 40.000 /kg. Harga daging ayam Rp 35.000 /kg. Harga telur ayam Rp 25.000/kg. Belum lagi harga cabai dan lain-lain.

Berita di salah satu stasiun TV Swasta naiknya harga bahan pokok. Dokpri
Berita di salah satu stasiun TV Swasta naiknya harga bahan pokok. Dokpri
Berita di salah satu stasiun TV Swasta naiknya harga bahan pokok. Dokpri
Berita di salah satu stasiun TV Swasta naiknya harga bahan pokok. Dokpri
Pemerintah pun biasanya dibulan ramadhan ini harus mengeluarkan THR untuk PNS. Perusahaan-perusahaan swasta juga sudah pasti mengikuti aturan pemerintah untuk memberikan THR bagi karyawannya. Kekhawatiran akan naiknya inflasi karena ketidakseimbangan kebutuhan bahan pokok dan harga pasar menjadikan pemerintah mencari seribu strategi dan cara agar bahan pokok bisa tetap stabil menjelang dan saat ramadhan. Namun apakah semua itu adalah solusi...? atau intervensi itu hanya jadi “pemadam kebakaran” saja untuk kebutuhan jangka pendek yang redudansi dari tahun ke tahun?

Coba kita petakan satu per satu permasalahan terhadap bahan pokok tersebut.

Pertama yaitu : Bulan Ramadhan adalah bulan yang sudah pasti datang setiap tahun.

Bulan Ramadhan ini memang bulan yang istimewa, dan hampir selalu disikapi dengan cara yang istimewa juga untuk mencukupinya. Semua tahu secara klasik bila supply tidak cukup dan demand (permintaan) tinggi, maka sudah barang tentu harga akan meroket. Semua juga sudah mafhum bahwa untuk menstabilkannya maka perlu dilakukan intervensi dari sisi supply (produksi) dan dari sisi demand(permintaan).

Intervensi dari sisi supply selama ini sudah pasti menjadi fokus dengan menggenjotnya melalui produksi besar-besaran (masal) atas bahan pokok dalam negeri atau bila tidak mencukupi akan dipenuhi melalui pasokan impor. Gagal tanam dan gagal panen, panen yang tidak mencukupi,  dan lain-lain seringkali menjadi “kambing hitam” dari sisi produksi ini.

Namun pernah kah kita berfikir untuk mengatasi kebutuhan bahan pokok itu dari sisi demand. Dari sisi ini tentu konsumen menjadi penentu. Konsumen adalah rajanya, dan perilaku konsumen seharusnya menjadi indikator pokok dalam intervensi.

Pertanyaannya adalah pernahkah ada upaya pemangku kepentingan untuk mengurus perilaku konsumen..?Kalau memang ada, sudah totalkah upaya tersebut...?.

Ramadhan adalah bulan yang bisa diprediksi datangnya dan bisa juga dikalkulasi (diminimalisasi)  efek dominonya. Pendekatan historis akan kebutuhan bahan pokok bisa juga menjadi rujukan dalam pendekatan perilaku. Disini juga seeprtinya sudah mulai harus difungsikannya para ulama, kiyai, mubaligh, sesepuh dan lain-lain dalam pengendalian kebutuhan bahan pokok di bulan Ramadhan terutama menanamkan nilai-nilai nafsu dan mubadzir dalam pengelolaan bahan pokok.

Konsumen sudah saatnya diajarkan untuk memenuhi kebutuhan dan bukan memenuhi keinginan akan bahan pokok. Sehingga tidak perlu lagi terjadi penimbunan bahan pokok. Kalau konsumen sudah cerdas, tentu tidak akan ada lagi mafia bahan pokok terutama dibulan Ramadhan.

Namun semua itu tentu harus dengan jaminan, keseriusan dan kepastian dari pemerintah bahwa stok bahan pokok dipasaran harus tetap stabil dan tidak berkurang. Dengan demikian mafia bahan pokok akan menjadi musuh bersama.

Dan, Kedua yaitu : Daya Beli masyarakat hampir selalu turun dibulan Ramadhan.

Bila pemerintah memberi PNS dengan THR dan perusahaan-perusahaan juga begitu. Lalu bagaimana dengan petani dipedesaan. Mereka yang sejatinya adalah penyedia bahan-bahan pokok apakah juga mendapatkan nikmat yang sama dengan mereka yang tinggal diperkotaan...?

Bagaimana dengan petani karet dan sawit..? Wah...harga karet dan sawit yang terus merosot akhir-akhir ini tentu menjadi tantangan tersendiri dibulan puasa ini. Terutama bagi petani karet. Harga karet yang terus tergerus anjlok dan menyentuh harga Rp 6000,- /kg saat ini tentu membuat para petani harus “mensyukuri” datangnya bulan Ramadhan, karena dibulan ini kita tidak perlu makan tiga kali sehari. Kita cukup makan dua kali saja yaitu saat berbuka dan saat sahur. Dengan begitu pengeluaran pada saat Ramadhan ini insya allah bisa ditekan.

Sebetulnya bukan masalah harga sembako yang mahal yang dipikir dan dikeluhkan oleh masyarakat pedesaan, tetapi bagaimana harga komoditas mereka bisa naik mengimbangi harga sembako yang mahal sehingga daya beli mereka pun baik dan terjangkau. 

Harga bahan pokok yang mahal dan harga karet yang murah sudah pasti sangat menyiksa para petani. Bagaimana tidak, harga sekilogram karet itu tidak mampu membeli sekilogram beras. Kekhusyukan mereka beribadah di bulan Ramadahan ini tentu akan menemui banyak tantangan.

Tapi itulah Ramadhan kawan, bulan yang istimewa dengan beribu ujian. Orang-orang yang terpilih insya allah akan mendapatkan gelar yang “fitri”, suci yang tidak ada jualannya di kampus lain selain kampus Ramadhan.

Insya allah ritual mahalnya bahan pokok ini tidak menjadi keluhan apalagi hambatan dan pembenaran untuk tidak beribadah dan mengisi Ramadhan yang penuh berkat. Mudah-mudahan juga pemerintah segera bisa mengatasinya dan memberikan kedamaian di bulan Ramadhan ini. Semua tentu berharap harga karet bisa naik lagi dan para petani bisa tersenyum dan beribadah dengan khusyuk sambil bersenandung Allahu Akbar.

semoga bermanfaat
salam dari Bumi Sriwijaya...fikrijamillubay

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun