Oleh : FIKRI JAMIL LUBAY
Menyimak Headline Harian Prabumulih Pos yang terbit pada hari Jum’at, tanggal 22 Januari 2016 yang berjudul Bidik Aktor Intelektual Pungli, yang disalah satu alineanya menyampaikan bahwa “...pengunjuk rasa kadung menilai Prabumulih sebagai Kota Pungli...”. dan diikuti dengan berita online di palembang.tribunnews.com serta Radaronline bahwa akibat pungli di Kota Prabumulih sampai mengganggu secara serius perekonomian di Kota Pagar Alam yang mengandalkan sayuran sebagai komoditas utama yang juga mengkabitkan berkurangnya pasokan sayur di pasar induk Jakabaring Palembang sebagai imbas dari para sopir angkutan khususnya sayur dari Kota Pagar Alam mogok berangkat karena takut dipungli di sepanjang perjalanan menuju Palembang, khususnya di Kota Prabumulih. Walikota Pagar Alam pun sampai harus menghubungi Walikota Prabumulih dan melaporkan hal ini ke Polda Sumatera Selatan. Dan, ternyata hal ini mendapatkan atensi khusus dari Polda Sumatera Selatan yang menargetkan sebulan menghapus pungli, sebagaimana diberitakan Koran Sindo edisi tanggal 23 Januari 2016.
Pungli (Pungutan Liar), seram dan miris, itulah kata yang tergambar dan terbayang pertama kali saat membaca headline beberapa surat kabar harian dan mingguan lokal baik di Kota Prabumulih maupun di Sumsel, baik cetak maupun online seminggu terakhir. Saya mencoba berandai-andai, seandainya saya adalah orang luar Prabumulih pastilah dengan membaca dan mendengar beberapa berita tersebut bayangan saya adalah Prabumulih adalah Kota terkebelakang, tidak aman, tertinggal, kumuh, negeri para begal (preman) dan lain sebagainya. Pokoknya gambaran yang menakutkan pasti akan terbayang dan terlintas dengan jelas dialam pikiran Saya.
Hal ini ditambah dengan mogoknya sopir angkutan (sayur, boks, dan lain-lain) yang sekaligus mendemo Bupati Lahat dan diterima oleh salah satu Asistennya pada hari Rabu, Tanggal 20 Januari 2015 yang lalu. Para sopir tersebut menyampaikan aspirasi kepada Bupati Lahat karena harus mengeluarkan biaya (cost) transportasi yang tidak sedikit, khususnya bila melewati Jalan Lingkar Kota Prabumulih yang sekarang berstatus sebagai jalan negara.
Berita Prabumulih Pos (Koran Lokal di Kota Prabumulih) menyebutkan bahwa, akibat aksi mogok para sopir tersebut dan tentu saja ulah pelaku pungli mengakibatkan harga sayur mayur menjadi naik sebesar 20% dari biasanya di Kota Prabumulih. Hal ini terjadi, diduga sebagai imbas dari pasokan sayur dari Kota Pagar Alam yang tidak masuk ke Kota Prabumulih. Dan itu pasti juga terjadi dengan Kota Palembang dan daerah-daerah lain yang harus melewati Kota Prabumulih, karena pasokan sayur ke Palembang juga sebagian besar dari Pagar Alam.
Pertanyaannya adalah ‘mengapa para sopir angkutan tersebut mendemo Bupati lahat untuk urusan di Prabumulih...?’. Ada kepentingan apa...? dimana aparat..? mengapa Kota Prabumulih disebut mereka sebagai Kota Pungli?
Karena itu perlu ditelusuri juga mengapa pungli bisa terjadi di Kota Prabumulih?. Bagaimana hubungan sebab-akibatnya? Dan apa yang harus dilakukan...?
Sepakat bahwa sebelum adanya angkutan batubara yang melewati Kota Prabumulih, kota ini adalah Kota Damai dengan mengusung moto ”seinggok sepemunyian”.
Riwayat terjadinya pungli di Kota Prabumulih (sebelumnya juga terjadi disepanjang jalan yang dilewati oleh Angkutan Batubara) tidak bisa dilepaskan dari kebijakan setengah hati dengan dibolehkannya angkutan batu bara melalui jalan umum. Prabumulih menjadi salah satu korbannya, jalan semakin rusak, macet, dan korban manusia sudah tidak bisa dihitung lagi. Kota Prabumulih hanya dibagi “manfaat” debu batubara, bising, jalan hancur dan korban jiwa berjatuhan. Karena Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Lahat tidak mengambil sikap tegas. Masyarakat Kota Prabumulih sudah santun dengan menyampaikan aspirasi ke wakilnya di DPR dan Pemeritah. Tapi apakah direspon, paling yang ada cuma dijanjikan. Nah dengan berat hati dan terpaksa (bukan juga pembenaran) masyarakat yang mengaturnya dan sebagian dari mereka mengambil keuntungan dari situ. Sudah banyak demonstrasi masyarakat melalui LSM, penghadangan dan perusakan truk angkutan batubara serta gesekan lainnya. Dan sialnya ternyata hal yang tidak boleh terjadi dan ternyata terjadi, sekarang menyasar ke angkutan lain seperti angkutan sembako, sayur mayur, mobil boks, dan lain-lain.
Dirasakan juga sudah terlalu banyak rapat dengan pihak angkutan, DPRD Kota, DPRD Provinsi, Anggota DPD RI dan lain-lain, namun hasilnya sampai dengan hari ini tidak ada manfaatnya (NIHIL). Pemerintah dan aparat sudah kalah oleh “Bias Duniawi”. Disamping itu juga, Angkutan batu bara juga tidak patuh, kebut-kebutan, berangkat tidak pada jamnya. Mana ada Peraturan Gubernur Nomor 041/SE/DISHUBKOMINFO /2015 yang mengatur waktu operasional angkutan batubara itu dipatuhi. Enggak percaya...? silahkan melintas dibawah pukul 18.00 WIB dari Palembang ke Lahat atau sebaliknya. Pasti ketemu dengan “rombongan” truk angkutan batu bara baik yang kosong dari arah Palembang maupun yang berisi dari arah Kabupaten Lahat.
Karena itu, kebijakan mengizinkan angkutan batu bara melintas dijalan umum perlu ditinjau ulang. Gunakan jalan khusus melalui Jalan Servo yang sudah dibangun tapi tidak digunakan dengan berbagai alasan klise. Dengan begitu pasti tidak ada pungli lagi di Kota Prabumulih. Kita juga yakin, kalau sudah dipindah ke jalur khusus itu, aparat lebih mudah bertindak dan warga yang melakukan pungli juga mudah ditertibkan. Jadi citra Kota Prabumulih sebagai Kota Pungli bisa segera dihilangkan, karena itu mengganggu sekali. Investor ogah-ogahan hadir di Prabumulih.