Setelah beberapa bulan terakhir mengalami penurunan, jumlah kasus terkonfirmasi positif covid-19 di Indonesia mengalami pertambahan yang pesat. Tercatat sebanyak 24.836 penambahan kasus terjadi per 1 Juli 2021, jumlah tersebut sangat berbeda dengan penambahan kasus pada bulan sebelumnya dengan pertambahan 4.824 kasus per 1 Juni 2021 (Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional , 2021).
Berbagai spekulasi muncul menanggapi kondisi tersebut, Kepala Bidang Penanganan Kesehatan Satgas Penanganan Covid-19, Alexander K. Ginting menyatakan bahwa lonjakan kasus virus corona yang terjadi merupakan akibat adanya warga yang melakukan mudik meski sebelumnya telah dilarang, sehingga penularan virus corona tidak terkendali hingga terjadi lonjakan. Selain itu, Alex menyebut bahwa kedatangan tenaga kerja Indonesia (TKI) dari luar negeri melalui jalur-jalur non-resmi menjadi salah satu faktor lonjakan kasus yang terjadi. Lonjakan semakin masif dengan munculnya varian baru virus corona di Indonesia yang disinyalir berasal dari India. Kondisi diperparah dengan berkurangnya kesadaran masyarakat yang tidak mematuhi protokol kesehatan, termasuk tidak menghindari kerumunan di tempat wisata  (CNN Indonesia , 2021).
Antisipasi penyebaran dan lonjakan kasus positif virus Covid-19 sebenarnya telah dilakukan, salah satunya melalui tindakan tes imunodiagnostik di fasilitas pelayanan kesehatan. Di Indonesia, terdapat dua jenis metode uji Covid-19 yakni uji diagnostik dan uji antibodi. Uji diagnostik memiliki dua tipe, yaitu uji molekuler secara reverse-real time-polymerase chain reaction (reverse-RT-PCR atau sering disingkat sebagai RT-PCR) dan uji antigen. Diantara keduanya, WHO lebih merekomendasikan penggunaan nucleic acid amplification tests (NAAT), seperti reverse-transcription polymerase chain reaction (rRT-PCR atau RT-PCR).
Menurut Dosen Departemen Patologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Basti Andriyoko, dr., Sp.PK(K), cara kerja tes PCR adalah dengan mendeteksi genetik dari virus, yaitu RNA-nya. Karakteristik ini menjadikan tingkat sensitivitas atau akurasi dari tes PCR lebih tinggi dibanding dengan tes sejenis lainnya. Akurasi hasil tes PCR bisa sampai 95%, sedangkan untuk hasil tes antigen dapat dimungkinkan terjadi miss sekitar 10-15% (Padjadjaran, Departemen Patologi Fakultas Kedokteran Universitas, 2021).
Metode PCR dari sampel swab saluran pernafasan atas akan memberikan hasil terpercaya hanya bila sampel diambil pada tahap awal infeksi. Karena itu, muncul berbagai kontroversi terkait, salah satunya isu banyaknya orang yang sudah melakukan karantina lebih dari dua minggu, namun setelah dilakukan swab hasilnya masih positif. Hal demikian dapat disebabkan karena Tes PCR tidak mampu membedakan apakah virus masih hidup ataupun mati, sehingga PCR mendeteksi RNA virus yang sudah mati atau justru mendeteksi virus lain yang memiliki konsentrasi yang sama dengan virus Covid-19. Oleh karena itu, uji melalui metode ini akan lebih bermanfaat untuk mengkonfirmasi keberadaan infeksi dibandingkan menunjukkan hilangnya virus.
Pengujian dengan metode uji molekuler juga memiliki keterbatasan, diantaranya membutuhkan biaya yang lebih mahal, memerlukan tenaga ahli, memerlukan fasilitas khusus dan laboratorium berstandar biosafety level-2, dan tahap pemrosesan yang kompleks sehingga membutuhkan waktu lebih lama.
Sebagai tindak lanjut terhadap terus berkembangnya kasus terkonfirmasi positif Covid-19 serta kurangnya kapasitas reagen untuk tes laboratorium molekuler Covid-19, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan aturan baru Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Virus Corona (Covid-19). Melalui aturan ini, pemerintah memilih untuk  menjadikan tes diagnostik cepat (RDT) sebagai alternatif pilihan dalam mendeteksi infeksi SARS-CoV-2.  Dengan demikian, kemudahan penggunaan dan singkatnya waktu ketersediaan hasil Ag-RDT berpotensi memperluas akses tes dan mengurangi penundaan diagnosis akibat keterbatasan pemeriksaan secara RT-PCR. Namun demikian, WHO tetap merekomendasikan metode uji Ag-RDT dilaksanakan pada kondisi dimana NAAT tidak tersedia atau waktu ketersediaan hasil tidak memberikan manfaat klinis.
Tes diagnostik deteksi antigen secara khusus dirancang untuk mendeteksi protein SARS-CoV-2 yang dihasilkan oleh virus yang bereplikasi di sekresi saluran pernapasan. Dalam ujinya, setelah sampel uji diambil dari saluran pernapasan dan dioleskan ke strip tes, hasilnya akan terbaca lebih cepat dengan rentang waktu antara 10-30 menit. Â Sensitivitas dan spesifisitas tes menjadi penentu terhadap kinerja metode uji Ag-RDT. Tingkat sensitivitas Ag-RDT tampak banyak berbeda dibandingkan NAAT, dengan rentang 34% samapi 80% dengan spesifitasnya tinggi (>97%).
Sensitivitas adalah persentase kasus positif menurut standar referensi NAAT yang terdeteksi positif oleh Ag-RDT yang dievaluasi. Sedangkan spesifisitas adalah persentase kasus negatif menurut standar referensi NAAT yang terdeteksi negatif oleh Ag-RDT yang dievaluasi.
Ag-RDT akan bekerja dengan baik pada fase prasimtomatik (1-3 hari sebelum munculnya gejala) dan fase simtomatik awal (dalam waktu 5-7 hari pertama penyakit) penyakit ini. Sehingga, pasien yang melakukan pengecekan pada masa lebih dari 5-7 hari sejak munculnya gejala maka lebih mungkin membawa jumlah virus yang lebih rendah dan kemungkinan hasil negatif palsu Ag-RDT lebih tinggi. Berdasarkan informasi dari WHO, kinerja Ag-RDT ditentukan oleh beberapa faktor yang harus dipertimbangkan yakni:
- Faktor-faktor pasien seperti waktu sejak munculnya penyakit dan tipe sampel status imun;
- Jenis (saluran pernapasan atas atau bawah), kualitas, dan pengolahan sampel, termasuk kondisi penyimpanan dan pelarutan di dalam media transportasi virus;
- faktor-faktor virus seperti konsentrasi dan masa peluruhan antigen virus dan variasi struktural pada antigen target, reaktivitas silang dengan virus lain;
- Target protein khusus, karena beberapa antigen diproduksi dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan antigen lain, misalnya nukleokapsid atau protein spike;
- Isu desain atau kualitas produk, seperti:
- jumlah antibodi atau afinitas antigen (-antigen) sasaran tidak mencukupi;
- pengemasan buruk dan pajanan pada panas dan kelembapan saat dipindahkan dan/atau disimpan dengan tidak tepat, sehingga merusak antibodi alat tes; dan
- instruksi yang tidak jelas yang dapat berdampak pada kinerja alat tes; dan
- Pelatihan atau kompetensi operator tes yang tidak memadai, yang dapat mengakibatkan kekeliruan dalam persiapan Ag-RDT, pelaksanaan tes, atau interpretasi hasilnya, sehingga kesimpulan keliru.
Informasi ini dapat mengindikasikan bahwa kemungkinan akan melewatkan setengah atau lebih jumlah pasien terinfeksi Covid-19, tergantung kepada faktor-faktor terkait di atas. Dimana dalam keseharian, metode uji Ag-RDT atau tes antigen lebih banyak digunakan oleh masyarakat umum. Terikat dengan kelemahan-kelemahan yang dimiliki masing-masing metode uji (khususnya pada metode uji antigen, mengakibatkan asumsi-asumsi akan kesalahan diagnosis hasil uji lebih rentan terjadi kesalahan. Hal demikian dapat terjadi jika tes yang dilakukan tidak cukup baik (tidak dilakukan dengan prosedur yang seharusnya) sehingga bisa melewatkan pasien positif infeksi (negatif palsu) atau di sisi lain keliru dalam menetapkan diagnosis pasien mengalami penyakit ini padahal tidak demikian (positif palsu), sehingga semakin menghalangi upaya pengendalian penyakit.