Mohon tunggu...
FIKRI IMANUDIN
FIKRI IMANUDIN Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia

Mahasiswa Program Studi Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Membandingkan PKS dan Gelora terhadap Pemikiran Politik Hasan Al-Banna

17 April 2023   14:46 Diperbarui: 15 Juni 2023   13:51 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ada beragam faktor yang dapat dipertimbangkan dan tolak ukur dalam membanding-bandingkan partai. Pada artikel kali ini, kita akan mengkaji nilai plus dan minus dua partai yang cukup berkaitan erat dengan pemikiran politik Hasan Al-Banna yang menjadi sosok inspiratif bagi sebagian elite partainya. Kendati berakar dari tokoh inspiratif yang sama, kedua partai ini memiliki perbedaan dalam hal ide, pergerakan, dan market politiknya. Berikut adalah ulasannya:


Dimulai dari Partai Keadilan Sejahtera. PKS kian kemari semakin dinilai condong bersikap opportunis-konservatif sampai-sampai kiranya memang layak disebut sebagai bagian dari koalisi "perlu bahan" yang merupakan plesetan dari "koalisi perubahan". Bagaimana tidak? Bahan kampanyenya mengandung ide-ide yang kurang relevan dan kerap kali para elitenya mengalami penyimpangan dalam rekam jejaknya. Mulai dari partai yang dikenal bersih kemudian tersandung kasus suap daging sapi. Program kampanye pajak motor 0%, bagaimana bisa? kalaupun bisa tentu sangat tidak relevan karena menambah jumlah pengendara motor dan akan berdampak pada kemacetan, belum lagi pencalonan Anies Baswedan yang mungkin berkorelasi dengan ideologi Arabisme Hasan Al-Banna dan terkesan sebagai pengistimewaan ras Arab diatas bangsa lainnya atau mungkin hanya sekedar memainkan politik identitas sebagai antitesis dari kepemimpinan Jokowi? Belum lagi pencatutan nama Raffi Ahmad oleh Zulkieflimansyah secara sepihak, yang terkesan asbun atau asal bunyi. Belum lagi perkara Pak Tifatul mendoakan Pak Jokowi biar gemuk? Tujuannya, biar dilirik atau bagaimana? Hmm, kira-kira semua itu hanya sekedar nyari sensasi atau sedang khilaf kurang menjaga marwah diri.

Kata Pak Gugel (Guru Gembul) dalam salah satu video youtubenya yang mengomentari Partia PKS ia menilai kesalahan atau perubahan perilaku partai dapat terjadi sebagai akibat dari proses pengkaderan yang mengangkat kader-kader karbitan keatas panggung perpolitikan. Apa iya? Kalau iya siapa yang dimaksud... Tidak boleh asal tuduh, meskipun realita yang dipaparkan cukup masuk akal. Mengenai rusaknya tatanan rekrutmen politik yang memunculkan "kader karbitan" akibat kelonjakan konstituen dan simpatisan terhadap partai, memangnya siapa yang mau dipersalahkan? Apakah salahnya kader karbitan yang muncul mendadak dipanggung perpolitikan atau kesalahan sistem pengkaderannya yang patut dikritisi? Memang, bagaimana rekrutmen politik PKS dapat terjalin? Apakah sesulit dan seekslusif yang masyarakat kira? Yakin, tidak ada praktik politik dinasti atau elite melalui titip-titip nama ke para kiadah (petinggi) partai? Bukankah kebanyakan rezim islamis berkaitan erat dengan pola seperti itu. Menurut saya pribadi, asalkan berkompeten tidak jadi masalah sejauh tidak muncul isu KKN yang melanggar regulasi dan merugikan negara itu sudah cukup untuk menyakinkan rakyat.

Bagaimana dengan Gelora yang tampil sebagai antitesis PKS dan diduga-duga sengaja dibentuk oleh bohir-bohir untuk menggembosi suara PKS, apa benar demikian? Berbeda dari PKS yang berasaskan Islam, pada AD ART Partai Gelora tidak mencantumkan ideologi dan asas yang jelas selain makna simbol partainya yang bercita-cita memajukan Indonesia sebagai bangsa besar. Setidaknya top 10 dunia kata petinggi partainya yang tidak lain ialah Fahri Hamzah dan Anis Matta dalam podcast yang beredar di Youtube. Mengenai adanya isu keterlibatan bohir, dalam podcast total politik pun Ustadz Anis Matta menyangkalnya dengan argumen, banyak menjadikan rumah-rumah kader sebagai kantor. Perlu digaris bawahi juga, bahwa tidak benar kalau dikatakan ada banyak kadernya yang berasal dari konversi partai PKS. Hal ini berarti sekalipun dituding menggembosi suara PKS kenyataannya itu tidak terjadi secara signifikan dan memang bukan menjadi tujuan utama partainya. Dari segi pergerakan bisa dikatakan Gelora bertolak belakang dengan PKS, yaitu melalui pendekatan sikap progresif-dinamis. Partai Gelora terbuka bagi siapapun yang berkehendak mengurusi rakyat, berbeda dari PKS yang kerap kali menggunakan kata umat sebagai cerminan ideologinya yang condong ke kanan. Anis Matta pun menjelaskan bahwa kata rakyat dan umat juga berakar dari bahasa Arab, meskipun acap kali kata rakyat identik dengan pidato haluan kiri karena biasanya golongan tengah lebih sering menyebut kata bangsa-kebangsaan. Namun, ini tidak berarti partai Gelora berhaluan kiri karena hanya mengikuti hadist nabi saja yang berbunyi:

Latin: Kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun an ra'iyyatihi

Artinya: "Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya"

Sebagai partai baru memang tidak banyak yang dapat dikritisi selain daripada ideologi dan aksinya yang belum ada kejelasan.

Jika ditinjau kembali dari pemikiran politik Hasan Al-Banna yang menjadi panutan bagi para petinggi kedua partai tersebut dapat dilihat bahwa pergerakan yang dikehendakinya ialah progresif-konsiste, meskipun ia tidak menyarankan pembentukan partai yang hanya memecah belah umat dan sebagai gantinya lebih baik membentuk suatu front nasional yang terdiri dari perwakilan berbagai kelompok. Namun, pemikiran Al-Bana tidak saklek menafikan keberadaan partai, melainkan memberi kebebasan sesuai sistem politik negara yang berlaku. Dari segi konsistensi kedua partai tersebut menjalankan asas utama politik Al-Banna, yaitu Al-Usra (berawal dari politik kekeluargaan), Nasionalisme (menjunjung tinggi kemerdekaan bangsa), dan fikrah ta'awun (inisiatif tolong-menolong). Tujuan utama kedua partai tersebut pun sama, yaitu tidak lain ialah untuk mengadakan "Al-Ishlah" atau perbaikan. Akan tetapi siapakah kiranya yang dapat bertahan menjalankan estafet dakwah Al-Banna yang moderat, menguatkan iman islam, dan memberi kemaslahatan bagi banyak orang? Sebelum dapat memastikannya, perlu diingat terlebih dahulu bahwa kita tidak dapat mengukur religiusitas dan tingkat pemahaman ideologis dalam menentukan pilihan politik jika rasionalitas yang diutamakan. Namun, besar kemungkinan kedekatan maupun kekecewaan hati bisa sangat mempengaruhi tindakan politik manusia.

Jadi, pertanyaan tersebut tidak serta-merta dapat dijawab secara mudah karena bergantung pada dorongan hati. Terlepas dari siapa yang lebih baik antara PKS atau Gelora. Hal yang perlu diperhatikan ialah tantangan umum kepartaian di masa kini, yaitu mengembalikan kepercayaan publik terhadap partai terlebih jika pemilu digadang-gadang akan dilaksanakan melalui sistem tertutup bak membeli kucing dalam karung. Hubungan rakyat dengan para pejabat akan semakin renggang, sementara partai dijadikan tameng bagi para elite untuk melanggengkan kekuasaannya. Solusi atas menurunnya kepercayaan publik terhadap partai ialah membangun persepsi baru seperti yang dilakukan PKS dengan mengubah logonya. Namun, bisa saja tindakan itu justru menimbulkan kecurigaan sebagai tindakan manipulatif jika tidak ada perubahan signifikan terhadap perilaku para aktor politiknya kearah perbaikan. Dalam hal narasi populisme kepartaian, bukan suatu masalah jika partai tetap mempertahankan persepsi konservatif, utopis, atau kecenderungan haluannya asalkan konsisten dalam tindakan idealisnya dan realistis di alam ide bukan sekedar mencari keuntungan pribadi dan perjuangan dinamis tanpa arah yang memunculkan kerancuan berpikir publik terhadap partai.

Artikel ini saya perbaharui setelah sebelumnya pada 17 April 2023 ditulis, saya nyatakan keresahan akan berubahnya sistem pemilu ke proporsional tertutup. Hari ini 15 Juni 2023 telah diputuskan oleh MK sistem pemilu tetap proporsional terbuka dan ini menjadi pelajaran penting bagi semua partai politik agar tidak bersikap pragmatis-opportunis dalam menentukan bacalegnya atau dengan kata lain hanya melihat elektabilitas tanpa mempertimbangkan kesejalanan dengan nilai ideologis dan pengalaman kepengurusannya dalam partai. Kepada penyelenggara pemilu diharapkan dapat menerapkan teknogi E-Voting guna meminimalisir biaya politik yang besar. Kemajuan iptek pun menjadi bagian penting dari para pemikir politik Islam secara keseluruhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun