Latar Belakang
Setiap negara memiliki rangkaian tujuan pelaksanaan negara yang diharapkan dapat memberikan kesejahteraan (walfare) untuk rakyatnya.Â
Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, negara perlu melakukan pembangunan nasional. Pembangunan nasional sendiri dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang dilaksanakan berkesinambungan untuk meningkatkan kemakmuran masyarakat. Untuk mewujudkan pembangunan tersebut, negara membutuhkan sumber daya (resource) yang salah satunya diperoleh dari sektor pajak. Pajak sendiri merupakan pungutan yang wajib dikenakan kepada wajib pajak (tax payer) oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.Â
Dalam pelaksanaannya, wajib pajak cenderung menghindari kewajiban-kewajiban yang berlaku sehingga dikenal beberapa perilaku penghindaran pajak (tax avoidance). Untuk melakukan penghindaran tersbut, wajib pajak berlomba-lomba untuk melakukan perencanaan pajak (tax planning) untuk memanfaatkan celah peraturan perpajakan hingga melakukan penghindaran pajak secara illegal (tax evasion).
Base Erosion and Profit Shifting (BEPS)
Praktik BEPS disebabkan oleh beberapa faktor yang berkaitan dengan ketetapan pajak yang berlaku antar negara. Faktor utamanya terjadinya BEPS ini adalah hukum domestik pajak setiap negara memiliki tujuan yang berbeda.Â
Hukum pajak tersebut menyesuaikan dengan sistem pajak yang berlaku disetiap negara yang bergantung kepada budaya dan ekonomi negara tersebut. Dengan adanya perbedaan regulasi ini menyebabkan celah kepada perusahaan multinasional untuk mengeksploitasi dan memilih negara dengan tarif pajak yang lebih rendah.Â
Perbedaan corporate income tax (CIT) rate tersebut mendorong Perusahaan multinasional untuk mendirikan controlled foreign company (CFC) di negara dengan terif pajak rendah untuk mengalokasikan laba. Negara dengan yuridiksi pajak rendah tersebut akan mendapat keuntungan dan terus melindungi setiap basis pajak di negara mereka.Â
Keberadaan tax haven ini secara tidak langsung untuk melakukan pergeseran laba mereka, dengan memanfaatkan regulasi resmi negara tersebut.Â
Manfaat dari penawaran tarif pajak rendah ini bagi negara tax haven sendiri adalah memperoleh penghasilan pajak dari wajib pajak global dan mendapatkan informasi penting mengenai perusahaan-perusahaan tersebut.Â
Dengan adanya BEPS ini sendiri memberikan dampak utama yaitu mempersulit perusahaan domestik untuk bersaing karena melalui praktik BEPS biaya pajak yang dikeluarkan oleh perusahaan multinasional ini lebih sedikit dengan perusahaan domestik.Â
Dampak lainnya adalah menganai masalah keadilan pajak, karena wajib pajak domestik akan cenderung memilih untuk tidak taat pajak karena melihat perusahaan multinasional yang menghindari kewajiban perpajakannya.Â
Praktik BEPS ini secara umum melibatkan sistem pengaturan pajak yang diterapkan di setiap negara, oleh karena itu untuk mengatasi hal ini diperlukan pendekatan yang terkoordinasi dengan tingkat internasional untuk memberikan solusi yang komprehensif.
Proyek Anti-BEPS
Rencana untuk mengatasi BEPS ini sudah lama dilakukan melalui pertemuan-pertemuan G20 yang pada tahun 2013 yang telah mengesahkan global action plan yang disusun oleh OECD.Â
Implementasi dari rencana aksi ini diharapkan dapat menjadi landasan oleh pemerintahan global dalam menentukan kebijakan pajak khususnya untuk perusahaan-perusahaan multinasional. Kerangka kebijakan ini telah dikeluarkan pada tahun 2019 dengan tujuan untuk mengatasi tantangan perkembangan dan digitalisasi ekonomi. Dalam kerangka tersebut dirumuskan pekerjaan pada dua pilar.Â
Pilar 1 adalah membahas alokasi hak perpajakan antara yuridiksi dan memberikan penjelasan proposal mengenai alokasi laba baru dan aturan yang berhubungan dengan keadilan pajak serta pemajakan perusahaan tidak berwujud.Â
Sementara itu pilar 2 menjelaskan mengenai pengembangan seperangkat aturan yang terkoordinasi untuk mengatasi risiko yang mungkin dilakukan oleh perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungannya ke negara dengan yuridiksi pajak rendah atau bahkan bebas pajak.
Pada pembahasan kali ini Penulis akan memaparkan mengenai rencana aksi yang disusun pada pilar 2. Dalam pilar ini terdadapat empat komponen, yaitu; aturan pemasukan pendapatan, aturan pembayaran kekurangan pajak, aturan peralihan dan pelengkap aturan pajak untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.Â
Aturan ini dapat diberlakukan melalui perubahan perjanjian pajak dan hukum domestik dengan memasukan aturan mengenai penghindaran pajak berganda yang mungkin muncul akibat kesamaan yuridiksi pajak antar negara.Â
Dengan adanya pilar 2 ini diharapkan dapat mengatasi tantangan BEPS yang muncul akibat adanya digitalisasi ekonomi sehingga dapat mempengaruhi perilaku Wajib Pajak. Untuk itu diharapkan bahwa tindakan ini diperlukan untuk mengehentikan tekanan keoada negara dengan tarif pajak normal terhadap tawaran insentif pajak dan tarif pajak rendah dari negara lain.Â
Sesuai dengan pemaparan Penulis sebelumnya, pemberlakuan tarif pajak minimal yang dapat berisiko mempengaruhi sikap Wajib Pajak untuk menggeser keuntungannya. Proposal pilar 2 ini muncul akibat tidak adnya solusi yang dapat dikoordinasikan dengan baik akibat adanya risiko tindakan sepihak untuk meningkatkan kuantitas basis pajak ataupun melindungi basis pemajakan dinegara meraka.Â
Namun penyusunan proposal didesain secara sederhana untuk meminimalkan administrasi dan biaya kepatuhan Wajib Pajak. Dengan adanya program pilar 2 ini akan diterapkan tarif pajak aktual yang akan ditetapkan sama untuk seluruh perusahaan multinasional.
Proposal Global Anti-Base Erosion (GloBE)
Saat ini perhatian masyarakat cenderung tertuju pada proposal Pilar 1, namun sebenarnya pengaturan pada Pilar 2 lebih komprehensif. Proposal Pilar 2 ini biasa disebut Global Anti Base-Erosion (GloBE) dengan konsep pengembangan kebijakan yuridiksi pajak antar negara sebagai sarana untuk melakukan restrukturisasi sistem pajak internasional yang menyeluruh.Â
Sesuai dengan pemaparan Penulis sebelumnya, pada Pilar 2 ini dilakukan pengaturan tarif pajak minimum antar yuridiksi atau biasa disebut income inclusion rule. Berdasarkan penilitian yang diterbitkan Oxford University Center for Business Taxation, proposal pilar 2 mampu meningkatkan pendapatan pajak global hingga 14%.Â
Tambahan pendapatan pajak ini mayoritas berasal dari negara-negara dengan tarif pajak rendah. Pada penelitian tersebut juga terdapat beberapa sistem pendekatan. Pertama, jika pilar 2 ini lebih ditujukan untuk mengatasi BEPS maka lebih direkomendasikan dengan pendekatan per entitas. Namun jika pilar 2 ini tujuan utamanya untuk meningkatkan investasi secara global melalui penetapan tarif pajak minimum, maka lebih mudah jika pengaturan di diterapkan di tingkat negara.
Dampak Kesepakatan
Pada pertemuan ini selain penetapan tarif pajak minimum juga diperoleh kesepakatan bahwa perusahaan digital akan diminmalisir untuk melakukan penghindaran pajak melalui praktik pemanfaatan layanan digital. Nantinya seluruh perusahaan multinasional diwajibkan untuk mendapat pemotongan pajak sesuai dengan tarif minimum yang berlaku atau tarif negara sumber walaupun tidak memiliki kantor fisik dinegara tersebut.Â
Selain itu dengan adanya kesepakatan ini, negara-negara dengan yuridiksi pajak rendah tidak dapat lagi memanfaatkan hal tersebut, karena nantinya aka nada tarif pajak minimum yang wajib ditetapkan disetiap negara. Oleh karena itu, negara-negara dengan tarif pajak rendah ini dihimbau untuk mencari alternatif baru terkait penerimaan negara mereka khususnya untuk membiayai masyarakat dan pembangunan. Untuk memaksimalkan pengenaan pajak terhadap perusahaan-perusahaan digital, negara-negara berkembang disarankan untuk melakukan pendataan terkait keberadaan perusahaan digital yang melakukan transaksi dinegara mereka.
Kesepakatan ini juga didukung oleh Presiden AS yang mengatakan bahwa tarif pajak minimal 15% untuk perusahaan besar tersebut berada diatas negara-negara dengan tarif pajak rendah seperti Swiss. Dilain sisi, kesepakatan ini akan menjadi kabar buruk bagi negara surga pajak di seluruh dunia karena perusahaan tentunya tidak bisa lagi melakukan penggerusan keuntungan mereka dan tentunya basis pajak mereka akan berkurang signifikan.Â
Penetapan tarif sebesar 15% ini sebenarnya masih lebih rendah daripada usulan awal yaitu sebesar 21%. Besaran tarif ini akan dipaparkan kepada negara-negara G20 pada bulan Juli 2021, termasuk kepada negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dengan adanya kesepakatan ini diharapkan dapat tercipta sebuah ekosistem keadilan pajak sehingga seluruh perusahaan multinasional akan membayar dengan perhitungan tarif yang sama. Dalam penetapan tarif pajak minimum ini sebaiknya dilakukan upaya yang dapat menciptakan efisiensi perpajakan internasional. Selain dengan adanya peningkatan penerimaan global khususnya yang berasal dari pajak, namun juga dapat meningkatkan kerjasama antar negara dalam pertukaran informasi perpajakan
Kesimpulan
Sesuai dengan pengaturan dalam pilar pertama yang memberikan sebagian hak pemajakan kepada negara sumber, maka perusahaan multinasional akan membayar pajak atas labanya kepada otoritas pajak negara sumber. Ketentuan tersebut turut didukung dengan penetapan global minimum tax ini sehingga dapat meminimalisir terjadinya praktik pergeseran laba. Kesepakatan negara G7 berupa penetapan tarif pajak minimum sebesar 15% dapat memberikan dampak yang signifikan dalam hal keadilan pajak.Hal tersebut juga dapat memberikan adaptasi peraturan pajak global terhadap perkembangan ekonomi digital.Â
Dengan adanya, penetapan tarif minimum ini diharapkan dapat mengatasi praktik BEPS dan tindakan race to the bottom karena negara yang awalnya menetapkan tarif pajak rendah akan terpaksa menetapkan tarif pajak minimum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sebenarnya penetapan tarif pajak minimum sebsar 15% ini masih tergolong kecil, karena rata-rata negara saat ini mayoritas menetapkan tarif pajak badan diatas 15%, termasuk Indonesia.Â
Namun dalam proses penetapan pengaturan tarif pajak minimum ini terdapat beberapa negara yang tidak setuju. Hal tersebut disebabkan karena mereka termasuk negara dengan yuridiksi pajak rendah, sehingga dengan adanya kebijakan ini maka basis pajak mereka terancam akan tergerus akibat wajib pajak dinegara mereka tidak lagi melakukan penggerusan laba.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H