Mohon tunggu...
Fikri Haekal Akbar
Fikri Haekal Akbar Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin

Fikri Haekal Akbar merupakan penulis buku "Mahastudent: Mahasiswa dengan Segala Keresahannya".

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Mari Kita Tertawakan Mereka yang Bilang Isu HAM Hanya Untuk 5 Tahunan

10 Desember 2024   14:17 Diperbarui: 10 Desember 2024   14:20 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oh, betapa menggelikan ketika ada yang berkata, "Isu HAM itu cuma muncul kalau sudah mau pemilu." Rasanya seperti menonton drama komedi absurd: penuh tuduhan tanpa dasar, logika yang entah darimana asalnya, dan pengabaian fakta yang seharusnya mudah dicari dengan satu klik di internet. Mereka menyebut aktivis HAM seperti pedagang musiman, muncul mendadak menjelang pemilihan presiden, lalu menghilang begitu hiruk-pikuk selesai. Lucu, bukan?

Namun, mari kita jawab tuduhan ini dengan fakta, bukan dengan emosi. Jika mereka benar-benar peduli mencari tahu, atau sekadar membaca berita lama, mereka akan tahu bahwa aksi penuntutan pelanggaran HAM sudah dimulai jauh sebelum isu politik menghangat. Tepatnya, sejak 18 Januari 2007, aksi Kamisan pertama kali digelar di depan Istana Negara. Itu artinya, sudah lebih dari 17 tahun, setiap hari Kamis, mereka yang peduli keadilan tetap berdiri, berpayung hitam, menuntut hal yang sama: penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat.

Dan lucunya, aksi ini tidak hanya terjadi di Jakarta. Di banyak kota lain, seperti Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Padang, Bandung dan lainnya, suara mereka terus digaungkan. Tidak ada jeda, tidak ada cuti, dan tentu saja tidak menunggu momen politik lima tahunan. Jadi, kalau ada yang bilang isu ini hanya muncul menjelang pemilu, pertanyaannya adalah: Di mana saja mereka selama ini? Apakah mereka sibuk menonton sinetron sampai lupa bahwa perjuangan itu ada setiap minggunya?

Mungkin, mereka lupa atau sengaja lupa. Sebab, isu HAM memang tidak selalu seksi untuk diberitakan. Tidak seperti berita selebriti cerai atau drama politik antarpartai, perjuangan HAM sering kali hanya menjadi latar belakang yang dianggap biasa saja. Karena itu, mereka yang tidak mau peduli lebih suka menciptakan narasi sendiri: bahwa aktivis HAM adalah alat politik yang hanya bergerak ketika ada kepentingan. Ironi, bukan? Seolah-olah para korban yang kehilangan keluarga mereka harus menunggu musim kampanye untuk menangis dan berteriak.

Cobalah kita lihat datanya. Dalam kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, ada ribuan nyawa yang hilang. Tragedi 1965-1966 misalnya, menurut beberapa laporan independen, menelan korban hingga lebih dari 500.000 jiwa akibat pembunuhan massal. Tragedi Tanjung Priok 1984, menewaskan puluhan orang dengan banyak korban luka akibat pembantaian yang dilakukan aparat. Lalu ada kasus penculikan aktivis pada 1997-1998, yang hingga kini masih menyisakan 13 orang hilang tanpa kabar. Tragedi Semanggi I dan II pada 1998-1999, menewaskan puluhan mahasiswa yang sedang memperjuangkan demokrasi. Belum lagi pelanggaran HAM di Aceh selama operasi militer dan kasus-kasus di Papua yang hingga kini terus menjadi bara di tengah masyarakat.

Lebih lucu lagi, tudingan ini sering datang dari mereka yang gemar menyebut diri sebagai pembela rakyat kecil. Mereka yang suka bicara soal keadilan sosial, tapi entah kenapa justru sibuk menyerang pihak yang benar-benar berusaha mencarinya. Kalau sudah begini, siapa yang sebenarnya peduli pada rakyat kecil? Yang berdiri setiap Kamis sore di depan istana, atau yang hanya muncul di media sosial saat mencari panggung?

Mungkin mereka lupa, atau berpura-pura lupa, bahwa perjuangan HAM adalah perjuangan melawan lupa. Para aktivis itu ada bukan karena musim pemilu, tapi karena negara ini masih menyimpan banyak luka yang belum terobati. Dari kasus penculikan aktivis, tragedi Semanggi, hingga pelanggaran HAM di Papua---semua itu masih belum tuntas. Dan selama keadilan belum datang, perjuangan ini tidak akan berhenti.

Jadi, mari kita ajak mereka yang gemar menuduh untuk duduk bersama para keluarga korban. Biarkan mereka mendengar langsung kisah pilu seorang ibu yang kehilangan anaknya bertahun-tahun lalu, tanpa tahu apakah anak itu masih hidup atau sudah menjadi nama di nisan tak bernama. Atau mungkin, biarkan mereka membaca kembali laporan panjang tentang tragedi yang selama ini dianggap angin lalu.

Jika setelah itu mereka masih berkata bahwa isu ini hanya muncul lima tahunan, maka mari kita tertawakan mereka lagi. Tertawakan ketidaktahuan mereka, tertawakan kemalasan mereka untuk mencari fakta, dan tertawakan ironi besar yang mereka ciptakan sendiri. Tapi setelah itu, jangan lupa kembali bekerja.

Karena bagi para pejuang HAM, ini bukan soal lucu-lucuan. Ini adalah perjuangan nyata. Sebuah perjalanan panjang yang tidak mengenal libur, tidak terhenti oleh kalender, dan tidak akan selesai hanya karena ada yang mencoba menutup mata. Dan selama keadilan belum hadir, mereka akan tetap berdiri. Tidak hanya setiap lima tahun sekali, tapi setiap hari, setiap waktu, hingga kebenaran menemukan jalannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun