Paus Fransiskus, sebagai pemimpin spiritual Gereja Katolik, sering kali menyampaikan pesan-pesan yang mendalam dan penuh makna. Salah satu kutipan beliau yang sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini adalah:
"Munculnya konflik-konflik kekerasan di berbagai daerah seringkali akibat kurangnya sikap saling menghargai, keinginan intoleran untuk memaksakan kepentingan sendiri, posisi sendiri dan narasi historis sepihak dengan segala upaya."
Kutipan ini menyoroti bahwa banyak konflik kekerasan di dunia ini berakar dari kurangnya sikap saling menghargai antarindividu dan kelompok. Sikap saling menghargai adalah fondasi yang kokoh bagi terciptanya hubungan yang harmonis dan damai. Ketika kita menghargai orang lain, kita tidak hanya mengakui nilai dan martabat mereka sebagai manusia, tetapi juga menyadari bahwa setiap individu memiliki hak untuk diperlakukan dengan martabat dan kehormatan. Penghargaan ini diwujudkan melalui tindakan nyata, seperti mendengarkan dengan empati, berusaha memahami sudut pandang orang lain, dan menghormati perbedaan yang ada di antara kita.
Lebih jauh, Paus Fransiskus menekankan bahwa intoleransi adalah musuh besar dari perdamaian. Intoleransi muncul ketika individu atau kelompok mencoba untuk memaksakan kepentingan dan pandangan mereka sendiri tanpa mempertimbangkan atau bahkan mengabaikan kepentingan orang lain. Ketika kepentingan satu pihak lebih diutamakan dan dipaksakan, maka konflik hampir pasti akan terjadi. Hal ini mengingatkan kita bahwa untuk mencegah terjadinya kekerasan, kita perlu menumbuhkan sikap toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan yang ada. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama membangun masyarakat yang lebih inklusif, di mana setiap individu dihargai dan setiap perbedaan dirayakan sebagai kekayaan bersama.
Kita perlu juga menyoroti bagaimana narasi historis yang sepihak sering kali digunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan. Sejarah, ketika digunakan secara selektif atau dimanipulasi, dapat menjadi alat yang kuat untuk memicu dan memperburuk konflik. Oleh karena itu, kita harus melihat sejarah dengan objektivitas dan rasa keadilan. Ini berarti kita harus bersedia mengakui kesalahan dan ketidakadilan yang terjadi di masa lalu, serta belajar dari pengalaman tersebut untuk memastikan bahwa kesalahan yang sama tidak terulang di masa depan. Dengan menghadapi masa lalu dengan jujur dan adil, kita dapat meletakkan dasar yang lebih kokoh untuk membangun masa depan yang lebih damai dan inklusif.
Namun, Â tidak hanya berbicara tentang identifikasi masalah, tetapi pesan ini juga mengajak kita semua untuk aktif berperan dalam menciptakan perdamaian. Perdamaian tidak harus dimulai dari tindakan besar yang monumental; sebaliknya, perdamaian bisa dimulai dari hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari kita. Setiap kali kita menunjukkan rasa hormat kepada orang lain, setiap kali kita mendengarkan dengan empati, setiap kali kita berusaha memahami perspektif yang berbeda, kita sedang menabur benih-benih perdamaian. Tindakan-tindakan kecil ini, ketika dilakukan secara konsisten dan kolektif, memiliki kekuatan untuk menciptakan perubahan besar di dunia.
Dengan demikian, pesan toleransi dari Paus Fransiskus adalah ajakan untuk melihat diri kita sebagai agen perubahan dalam dunia yang sering kali dipenuhi oleh kekerasan dan ketidakadilan. Dengan mengembangkan sikap saling menghargai, menumbuhkan toleransi, dan berkomitmen untuk menghadapi masa lalu dengan keadilan, kita dapat berkontribusi pada terciptanya dunia yang lebih damai, harmonis, dan adil untuk semua. Setiap langkah kecil yang kita ambil dalam menunjukkan penghargaan dan toleransi adalah langkah maju menuju dunia yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H