Kekerasan seksual merupakan masalah yang tak kunjung usai, sehingga membuat trauma korban semakin menjadi-jadi. Belum lagi persoalan prasangka yang membuat korban dipersalahkan.
Melihat fenomena tersebut, Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra menyelengarakan Podcast yang bertajuk "Mirisnya Pelecehan Seksual Perempuan" dengan narasumber perwakilan dari Koalisi Perempuan Indonesia Provinsi Jawa Timur, Septy Putri Erika Nugroho dan dipandu oleh akademisi perempuan Universitas Wijaya Putra, Nur Hidayatul Fithri, S.H., M.H. yang ditayangkan pada Official Channel YouTube Fakultas Hukum UWP pada 4 Agustus 2022.
Pada awal diskusi, Septy menjelaskan mengenai lembaga Koalisi Perempuan Indonesia beserta pergerakannya di Indonesia, khususnya di Jawa Timur. Salah satunya adalah dibentuknya sejumlah Balai Perempuan di berbagai cabang.
Pada pembahasan inti, Septy menyampaikan fakta bahwa korban pelecehan seksual kebanyakan yang berpakaian tertutup. Sehingga, ungkapan yang menyatakan bahwa perempuan mengalami pelecehan karena berpakaian minim atau berpenampilan seksi-pun terbantahkan. Namun hal ini sudah menjadi stigma di masyarakat. Hal inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi aktivis maupun organisasi perempuan di Indonesia untuk menghilangkan stigma tersebut.
Di samping itu, penelitian menyebutkan bahwa pelecehan seksual dikarenakan adanya relasi yang tidak setara. Semisal guru dengan muridnya, orang tua dengan anaknya, bahkan perbedaan kelas ekonomi antara orang kaya dan orang miskin (semisal antara majikan dengan pembantu).
Septy juga menyampaikan bahwa mudahnya akses terhadap konten pornografi di Indonesia membuat pelecehan seksual kian marak di Indonesia. Bahkan yang mengejutkan, konten tersebut tidak hanya ada di media sosial seperti Twitter saja, melainkan sampai membuat Grup Privat di Telegram yang isinya khusus mengenai konten pornografi. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan seksual kian berkembang, sehingga cara penangananya juga harus mengalami transformasi menyesuaikan perkembangan zaman.
Salah satu problematika dalam penanganan pelecehan seksual adalah sulitnya mengajarkan pendidikan seksualitas di tingkat keluarga. Sebagai contoh di tingkat paling kecil saja adalah pengajaran kepada anak-anak, mana anggota tubuh yang boleh disentuh dan mana anggota tubuh yang tidak boleh disentuh. Hal itu saja tidak semua orang tua mengajarkan kepada anaknya, apalagi pendidikan seksualitas untuk tingkatan anak SD, SMP dan SMA.
Selanjutnya, Septy juga menjelaskan mengenai dampak dari kekerasan seksual. Pertama adalah dampak fisik seperti memar, infeksi, atau pada kasus pemerkosaan seperti robeknya alat vital Kedua adalah dampak psikis seperti membuat rasa percaya diri jauh menurun, depresi dan sebagainya. Dan yang ketiga adalah dampak sosial, berupa stigma masyarakat yang menyalahkan korban pelecehan seksual.
Dari tiga dampak tersebut juga melahirkan dampak ekonomi. Korban menjadi tidak percaya diri untuk bekerja, tidak percaya diri untuk melakukan aktivitas yang menghasilkan uang karena takut bertemu orang akibat trauma mengalami pelecehan seksual.
Yang lebih ironis adalah terdapat dampak hukum yang justru dialami korban. Karena tidak jarang, korban pelecehan seksual yang melaporkan pelaku justru dilaporkan balik oleh pelaku dengan pasal pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan sulitnya membuktikan adanya pelecehan seksual. Septy mengibaratkan hal ini seperti angin : tidak terlihat, namun dapat dirasakan ada berupa desir-desir namun sulit untuk dibuktikan bahwa angin itu ada karena tidak terlihat.