Mohon tunggu...
Fikri Hadi
Fikri Hadi Mohon Tunggu... Dosen - Instagram : @fikrihadi13

Dosen Fakultas Hukum Universitas Wijaya Putra, Surabaya || Sekjen DPP Persatuan Al-Ihsan. Mari turut berpartisipasi dalam membangun kekuatan sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan Umat Islam di Persatuan Al-Ihsan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hikmah Isra Mikraj dalam Perspektif Kehidupan Bernegara dan Bermasyarakat

7 Maret 2022   15:07 Diperbarui: 7 Maret 2022   15:10 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

27 Rajab merupakan salah satu tanggal yang selalu dikenang oleh umat Islam sedunia. Pada tanggal tersebut, Nabi sekaligus Rasul dari terakhir dari umat Islam, yakni Nabi Muhammad S.A.W. mengalami perjalanan spiritual yang pada akhirnya menjadi salah satu peristiwa penting bagi umat Islam hingga saat ini. 

Peristiwa perjalanan tersebut ialah perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha (yang disebut sebagai peristiwa Isro) dan perjalanan Nabi Muhammad yang dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul-muntaha yang merupakan tempat tertinggi untuk selanjutnya mendapat perintah langsung dari Allah S.W.T. (yang mana peristiwa ini disebut sebagai peristiwa Mi'roj). Kedua peristiwa tersebut, baik Isro maupun Mi'roj dilakukan dalam satu malam saja.

Peristiwa Isro Mi'roj menjadi salah satu peristiwa penting bagi umat Islam hingga saat ini ialah dikarenakan pada saat itu, Nabi Muhammad mendapatkan salah satu perintah langsung dari Allah S.W.T. yang pada akhirnya menjadi kewajiban umat Islam hingga saat ini. Perintah tersebut ialah perintah untuk melakukan ibadah Sholat lima waktu.

Lantas, apakah hikmah Isro Mi'roj bagi kita?. Petuah bijak selalu menyebutkan bahwa di setiap kisah, pasti ada hikmah yang dapat dipetik. Sebagaimana yang umat Islam ketahui bahwa gerakan ibadah sholat diakhiri dengan gerakan taslim, yakni gerakan menoleh ke kanan dan ke kiri beserta mengucapkan kalimat salam "Assalamu'alaikum wa rahmatullah" yang bermakna "semoga keselamatan (diberikan) atasmu dan juga dilimpahkan atasmu rahmat dari Allah".

Dari gerakan tersebut, sejatinya mengandung suatu pertanyaan filosofis kepada umat Islam, "Sudahkah anda menyebarkan salam dan kebaikan kepada orang-orang di sekitar anda?". Gerakan taslim atau salam dalam sholat tersebut sejatinya menyiratkan bahwa bagi orang-orang Islam yang mempunyai kewajiban menjalankan ibadah Sholat, seyogyanya juga harus memberikan kebaikan dan salam (keselamatan dan kedamaian) bagi orang lain. Sholat memang merupakan aspek ibadah kaitannya dengan 'Hablum-Minallah' (hubungan antara seorang manusia atau seorang hamba dengan Allah). Namun ibadah Sholat tersebut juga menyiratkan kewajiban seorang manusia untuk menjaga hubungannya dengan manusia, bahkan kepada alam atau lingkungan (Hablum-Minannas).

Hikmah atau pembelajaran inilah yang tampaknya mulai hilang di umat Islam, khususnya di Indonesia. Hari-hari ini kita sering diperlihatkan mengenai perdebatan yang salah satunya justru berkaitan implementasi beragama. 

Beberapa waktu yang lalu, kita diramaikan dengan terkait isu wayang dalam perspektif Islam. Berawal dari tanya jawab dalam ceramah Ustadz Khalid Basalamah terkait wayang yang selanjutnya 'dibalas' dengan pagelaran wayang yang berisikan perundungan terhadap sesosok wayang mirip Ustadz Khalid di Pondok Pesantren milik Gus Miftah.

Bahkan, yang terbaru ialah keributan yang ditimbulkan akibat pernyataan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas atau biasa dipanggil Gus Yaqut. 

Hal ini berawal dari Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala yang bertujuan untuk mengatur volume dan penggunaan pengeras suara tersebut sebagai upaya meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga masyarakat. 

Hal ini mengingat bahwa umat Islam di Indonesia hidup dalam masyarakat yang beragam, baik agama, keyakinan, latar belakang dan lainnya.

Pada pernyataan Gus Yaqut selanjutnya terkait Surat Edaran tersebut, beliau menyampaikan perbandingan yakni bagaimana apabila rumah ibadah membunyikan toa lima kali sehari dengan keras secara bersamaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun