hukum di Indonesia tengah mencuat sejak akhir tahun 2021 lalu hingga awal tahun 2022 ini. Salah satu yang menjadi sorotan masyarakat adalah terkait putusan pengadilan atas kasus yang menimpa salah satu selebgram Indonesia terkait karantina pada akhir tahun 2021 lalu. Hal yang menjadi sorotan dan di-blow up oleh sejumlah pers adalah terkait hal yang meringankan yang dijadikan pertimbangan atas putusan tersebut, yakni mengakui perbuatan dan berlaku sopan di sidang.
Isu terkaitFrasa terakhir, yakni 'sopan di sidang' inilah yang menjadi sorotan masyarakat dan pers. Akibatnya muncul istilah seperti "duta sopan", "tidak apa-apa melanggar hukum asalkan sopan", hingga muncul anggapan ketika berlaku sopan maka bisa tak ditahan. Kini, pertimbangan meringankan 'sopan' ramai lagi sorotan setelah muncul di sidang salah satu influencer terkait kasus kecelakaan pada awal Januari 2022 ini. Pertimbangan 'sopan' ini kemudian ramai dipertanyakan di media sosial. Dan akhirnya lagi-lagi, hukum di Indonesia kembali dipertanyakan dan menjadi sorotan.
Padahal bila dikaji dari sudut pandang hukum, Hal-hal yang meringakan dan memberatkan dalam putusan adalah suatu hal yang lumrah dan lazim dicantumkan oleh hakim. Istilah sopan bukan hanya dipraktikkan pada kasus-kasus tersebut diatas, melainkan di semua kasus.
Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, mengungkap dasar pertimbangan terdakwa berlaku 'sopan' itu misalnya karena terdakwa bersikap kooperatif dalam menyampaikan keterangannya dan tidak berbelit-belit sehingga memudahkan pembuktian. Menurut beliau, berlaku sopan bukan berarti kata-katanya baik, tetapi lebih kepada memberikan keterangan kooperatif dan tidak menantang pengadilan atau memberikan keterangan bohong.
Senada dengan pendapat tersebut di atas, salah satu pegiat media sosial, @sam_ardi menyampaikan melalui tweetnya bahwa hal-hal yang meringakan dan memberatkan di dalam putusan adalah hal lumrah dicantumkan oleh hakim. Dan adanya sikap sopan tersebut bukan berarti seseorang tidak dipidana. Bahkan beliau menyampaikan satu referensi artikel di jurnal yang ditulis oleh Dwi Hananta yang merupakan seorang hakim di Pengadilan Negeri Kediri yang berjudul "Pertimbangan Keadaan-Keadaan Meringankan Dan Memberatkan Dalam Penjatuhan Pidana".
Di sinilah kekeliruan sejumlah pers dalam membuat judul suatu artikel terkait isu hukum tersebut di atas. Dapat dikatakan bahwa hal ini murni kesalahan jurnalis yg keliru dalam menuliskan informasi sidang pembacaan putusan. Jurnalis yang keliru, pers yang mengizinkan dan membuat judul artikel yang bersifat click-bait, ditambah minat baca masyarakat Indonesia yang rendah dan pengetahuan hukum masyarakat yang minim membuat hukum di Indonesia menjadi sorotan bahkan mendapatkan cacian dari masyarakat Indonesia itu sendiri.
Celakanya, masyarakat yang mengetahui tentang hukum termasuk diantaranya mahasiswa Fakultas Hukum maupun alumnusnya justru ikut terjerumus dan terbawa arus pada berita yang menyesatkan tersebut. Mereka justru terpengaruh judul berita tersebut dan blow-up para aktivis media sosial dan akun media sosial yang ternama dan kritis yang mana kebanyakan dari mereka justru tidak memahami prosedur hukum di Indonesia. Padahal mahasiswa dan akademisi hukum tersebut tentu sudah belajar mengenai mekanisme peradilan di Indonesia melalui mata kuliah hukum acara dan mata kuliah praktik sidang (atau di Fakultas Hukum dikenal sebagai PLKH (Pendidikan dan Latihan Kemahiran Hukum).
Pers dan para mahasiswa dan akademisi, khususnya di bidang hukum yang seharusnya memberikan pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat justru kian menyesatkan masyarakat. Hal inilah yang harus diintrospeksi oleh Dewan Pers, Kampus, dan termasuk oleh Negara. Karena secara konstitusional, tujuan negara Indonesia adalah "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa". Adalah kewajiban kita bersama untuk turut serta dalam mencapai tujuan negara tersebut, dan justru bukan menyesatkan atau bahasa kasarnya adalah 'membodohi masyarakat'.
Beruntung, masih banyak pers, influencer, mahasiswa dan akademisi yang masih 'sehat'. 'Sehat' dalam arti mereka masih objektif dalam melihat suatu kasus dan tidak terbawa arus. Seperti akun @Sam_Ardi yang bahkan dalam tweetnya secara keras menyebutkan bahwa jurnalis yang menulis berita tersebut adalah jurnalis yang ngaco. Pun demikian juga dengan pegiat media sosial lainnya, @kapoett yang merupakan yang menyampaikan bahwa semua berita membawa kata "sopan" supaya suasana media sosial memanas. Bahkan beliau juga memohon agar pers jangan membodohi masyarakat dengan menghighlight sesuatu yang bukan menjadi pokok tuntutan Jaksa. Tweet ini yang kemudian mendapatkan perhatian dari salah satu influencer ternama Indonesia, Bintang Emon yang kemudian me-retweet dari tweet tersebut serta berkomentar, "Beberapa media emang kudu disemprot terus. Enak banget serampangan cuma biar dapet banyak atensi"
Kedepannya, kita berharap agar media-media yang melakukan hal-hal kurang patut tersebut di atas mendapatkan teguran dan sanksi keras dari Dewan Pers. Kita berharap bahwa kedepannya akan banyak muncul pers yang 'sehat' dan tidak lagi melakukan kekeliruan dan melanggar etika dalam jurnalistik. Hal ini semata-mata agar pers dapat menjalankan fungsinya sebagai media pendidikan sebagaimana yang tercantum pada Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Pun sama halnya dengan mahasiswa dan akademisi termasuk akademisi yang juga merupakan influencer, yang mana mereka harus objektif, tidak terbawa arus dan terus memberikan pengetahuan kepada masyarakat awam. Salah satunya pada bidang hukum adalah terkait dengan penyuluhan hukum kepada masyarakat baik secara langsung ataupun melalui media sosial. Keseluruhannya tersebut bertujuan agar tujuan negara yang tercantum secara konstitusional, yakni "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" dapat tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H