Pada awal Agustus lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020. Sesuai prediksi dari sejumlah pengamat, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 mengalami kontraksi yakni minus 5,32 persen.Â
Rendahnya pertumbuhan ekonomi kuartal II 2020 dipicu berbagai kontraksi hampir di seluruh komponen. Mulai konsumsi rumah tangga, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau indikator investasi, ekspor-impor hingga konsumsi pemerintah yang kesemuanya tercatat minus.Â
Hal ini dapat dipahami mengingat pandemi COVID-19 yang melanda dunia menimbulkan penurunan pertumbuhan ekonomi diberbagai negara, termasuk Indonesia.Â
Penerapan Karantina wilayah, dan ‘Lockdown’ di negara lain ataupun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana yang diterapkan di Indonesia membuat masyarakat tidak bisa beraktivitas secara leluasa sebagaimana keadaan normal sebelum pandemi.
Di tengah kondisi perekonomian negara yang tengah mengalami kontraksi, terdapat hal yang mengejutkan. Beberapa sektor mengalami surplus pada masa pandemi ini.Â
Berdasarkan data BPS, sektor yang menjadi penyumbang tertinggi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan II 2020 adalah pertanian di mana PDB pertanian tumbuh 16,24 persen pada triwulan-II 2020 (q to q), sementara secara year on year tumbuh 2,19 persen.
‘Pertanian’, ‘Petani’, ‘Agraris’ dan sebagainya. Kelompok yang biasa termarjinalkan, dianggap kelompok bawah, justru kini menjadi tulang punggung pertumbuhan perekonomian Indonesia.Â
Penulis teringat pada beberapa waktu yang lalu di media sosial, sempat ramai mengenai sejumlah postingan yang menyebutkan bahwa istilah Petani merupakan akronim yang dibuat oleh Presiden pertama RI, Ir. Soekarno. Pada postingan tersebut menyampaikan bahwa petani merupakan akronim dari ‘Penyangga Tatanan Negara Indonesia’.Â
Pada perkembangannya, sejumlah akademisi menyatakan bahwa tidak benar istilah petani diciptakan oleh Bung Karno. Kata petani sudah ada sejak zaman dahulu. Kata petani berasal dari kata tani, yang merupakan bahasa sanskerta. Dalam bahasa sanskerta, kata tani berarti tanah yang ditanami.Â
Sedangkan menurut mereka, Bung Karno menggunakan kata petani dalam rangka kepentingan politik untuk mengambil hati rakyat, khususnya petani.Â
Sebagaimana diketahui bahwa Bung Karno memang sangat suka membuat akronim-akronim seperti Berdikari dari berdiri di atas kaki sendiri, Trikora dari Tri Komando Rakyat, atau bahkan Nasakom dari Nasionalisme, Agama, Komunisme, dan sebagainya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!