Saya tidak begitu ingat wajahnya, tapi saya masih hafal nama lengkapnya. Tingginya setengah jengkal lebih rendah dari saya. Badannya juga kurus, lebih dari saya. Tasnya penuh, terlihat berat. Rambutnya belah tengah mirip anak rohis kebanyakan. Seragamnya kebesaran dan selalu rapi tampak baru. Ganteng? Saya yakin saya jauh lebih rupawan dibanding dia. Saya serius. Sangat serius.
Pertama kali saya berkenalan semiggu setelah kelas dimulai, anak baru katanya. Introduksi itu dilakukan setelah pulang sekolah. Tentu saja di warung tegal sebelah. "Mamat", sambil menyodorkan tangan. Sayangnya dia tidak merokok, pajak anak baru jadi tidak berlaku. Ia mengaku satu kelas dengan saya. Ia ikutan nongkrong di sana. Anehnya, sepuluh menit sebelum jam pelajaran dimulai, ia pergi. Padahal sudah tradisi kalau anak - anak yang nongkrong di sana selalu bareng melewati pagar sekolah ketika bel berbunyi. Tradisi tidak penting yang dibenci guru.
Di dalam kelas, saya tidak melihat Mamat, katanya ia sekelas dengan saya. Cabut, pikir saya. Setelah pulang sekolah dan nongkrong beberapa lama, Mamat muncul. Ia datang dari entah. Lalu saya membuka dialog.
"Wah baru seminggu udah cabut aja lo, parah lo"
"Engga cabut kok, tadi gue ada di kelas kok. Gue duduk di pojok kelas. Lo ga liat gue kali"
"Ah engga, gue serius ga liat lo! Parah banget lo, baru juga seminggu udah cabut, haram banget lo jadi orang! Parah bet parah", hahaha saya tidak percaya kosakata SMA saya sudah demikian kayanya.
"Engga, Fik. Gue ada kok. Kelas 2-2 kan? Wali kelasnya Bu Hadrah?"
"Iya"
Saya dan Mamat berhenti sampai di sana. Tidak meneruskannya.
***
Esok harinya, saya mencari namanya dalam buku kehadiran kelas. Nihil. Namanya tidak ada. Mungkin karena dia anak baru sehingga Mamat tidak tercantum. Kelas juga tidak ada yang mengenal nama Mamat. Bukan, bukan Mamat Sumamat namanya. Ini dibuat Mamat dari awal untuk melindungi identitasnya.