[caption id="attachment_229749" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (Sumber: KOMPAS.com)"][/caption] Sebenarnya ia mendengarku, tapi lebih memilih untuk pura-pura tuli. Tidak ada yang salah dari pertemuan itu, hanya saja waktu terasa begitu cepat. Aku tak sempat mengenalnya lebih dalam. Aku tidak tahu apakah ia layak untuk kuperkenalkan kepada kedua orangtuaku. Mungkin bagi beberapa orang, ia tampak seperti gay. Jejarinya yang lentik dan gerakannya yang lentur menambah kecurigaan itu. Ia penari. Aku dikenalkan oleh sahabatku, Mona. Mona pula lah yang mengatur jadwal perkenalanku dengannya. Ia selalu membawa sebuah kotak besar. Mirip koper, tapi lebih panjang dan lebar. Setiap aku tanya jawabannya selalu sama: bukan apa-apa. Sesekali saat ia izin ke kamar mandi, aku ingin tahu isi di dalam kotak itu. Niat itu selalu mentah mengingat kebaikan hatinya. —- Aku ingin hidup normal. Seperti orang kebanyakan, yang bisa bersantai di pinggir kolam renang di akhir pekan, yang bisa mentertawakan kebodohan orang lain di televisi, yang butuh waktu lama untuk memilih kaos, yang bisa tidur lebih dari delapan jam. Mona, aku tahu dia. Dia sudah seperti saudaraku sendiri. Aku tidak tega menolak ajakannya untuk mengenalkanku dengan sahabatnya, Tara. Bukan aku tidak mampu mendekati perempuan, tapi pekerjaanku ini pasti dianggap negatif oleh orang lain. Padahal apa bedanya pekerjaanku dengan pekerjaan lainnya? Gadis di depanku memang menarik. Apa lacur, aku lebih baik hidup sendiri. Sebenarnya aku ingin berbicara panjang lebar dengannya. Tapi aku lebih memilih untuk berkomentar sekadarnya. Semata-mata supaya dia tidak sakit hati. Sial! Aku harus ke kamar mandi. Aku khawatir ia akan mengintip koperku saat aku pergi. Lebih mencurigakan baginya jika aku membawa koperku ke dalam kamar mandi. Ah biarlah! Aku rasa dia tidak akan berani membukanya. Aku yakin Mona sedang tertawa-tawa di suatu tempat sambil mengintip pertemuan ini. Jika ditanya tentang pertemuan ini, aku akan diam seribu bahasa. — Tara, sahabatku yang sudah lama sendiri. Begitu juga dengan Indra, semenjak ia fokus terhadap pekerjaannya, ia lupa untuk mencari pasangan hidup. Yang aku tahu ia penari. Apa salahnya aku pertemukan dengan Tara? Toh dua-duanya sendiri. Aku rasa mereka bisa saling mengenal dan cocok. Lalu bagaimana denganku? Hahaha, aku tidak peduli lagi dengan kehidupan cintaku. Lagipula menjodohkan mereka berdua sangat menyenangkan. Mereka tidak tahu, aku sudah pasang penyadap suara di tempat mereka berdua bertemu. Besok ketika aku bertemu Indra, akan aku habisi dia dengan pertanyaan-pertanyaanku, hahahaha! —- Aku pulang setelah pertemuan yang dingin tapi menyenangkan itu. Komputerku berbunyi tepat di saat aku membuka pintu. Ada satu notifikasi surat elektronik yang baru masuk. Aku mengirimkan pesan pendek. Berisi nama, tempat, dan waktu. Seperti biasa. —- Aku pulang setelah pertemuan yang dingin tapi menyenangkan itu. Belum tiba di kediamanku, ponselku bergetar, ada satu pesan tanpa nama yang berisi nama, tempat, dan waktu. Seperti biasa. Aku pergi menuju tempat yang tertera dalam pesan tersebut. Aku membuka kotak koperku, lalu memasang teleskop pada ulir dan mengencangkan larasnya. — Kenapa di keningku ada titik merah? [Jakarta. 15 Desember 2012. 03:05 AM. Fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H