Lupakan film bertema superhero atau manusia bertaring yang gemerlapan, mari kita sambut Life of Pi! Film yang diangkat dari novel karangan Yann Martel dengan judul sama. Life of Pi datang di penghujung November, satu hari setelah kantor saya juga meluncurkan film terbarunya, HelloGoodbye. Hahaha.
Setelah menghabiskan beberapa menit hidup saya untuk mengintip trailer dan membaca sinopsisnya, seketika itu juga saya tertarik ingin menonton. Dalam trailer-nya banyak adegan dengan visual yang fantastis, saya terpaksa menyalahkan Ang Lee untuk bertanggung jawab. Berkat namanya di sebelah tanda baca titik dua di samping kata ‘sutradara’, saya semakin ingin menonton. Ang Lee memang bukan sutradara favorit saya, tetapi pemenang Oscar ini memang selalu punya kejutan dalam karyanya.
Di beberapa forum, banyak yang bilang novel ini termasuk unfilmable. Mungkin itu menjadi “challenge accepted!” bagi Ang Lee. Tidak sedikit film yang gagal untuk mengkonversi teks menjadi audiovisual, namun Ang Lee tampil dengan kekuatan yang sangat dahsyat. Seolah-olah ia ingin menunjukkan anggapan para pembaca novel ini salah: Life of Pi bisa difilmkan!
Lagi-lagi Ang Lee berkolaborasi dengan macan. Jika dalam film sebelumnya ia membuat macan menunduk dan menyembunyikan naga, maka di film Life of Pi, Ang Lee mengkombinasikan anak muda berdarah India dengan macan benggala. Life of Pi dibuka dengan seorang penulis yang berkunjung ke India karena mendapat kabar tentang seorang pria yang terombang-ambing di tengah laut. Ya benar! Seorang pria itu ialah Pi Patel, tokoh utama dalam film ini.
Pi tinggal di dalam keluarga dengan dualisme. ayahnya adalah seorang pria realis yang mengedepankan logika, sedangkan ibunya adalah perempuan yang errr, relijius. Pi tumbuh bersama hewan-hewan yang dipelihara oleh keluarganya. Bukan hanya satu dua ekor, namun seisi kebun binatang. Sampai akhirnya, pemerintah mengambil alih tanah yang ditempati keluarga Pi. Ayah Pi memutuskan untuk menjual seluruh hewan koleksinya ke sebuah kebun binatang di Kanada.
Dengan menumpang kapal kargo dari Jepang, Pi menyulap kapal tersebut menjadi bahtera Nuh versi modern. Sayang, mungkin karena Pi memiliki tiga agama, tuhan tidak mengizinkan kapal tersebut mengikuti jejak nabi Nuh yang tetap utuh ketika air bah sudah surut. Kapal kargo tersebut digerus badai hingga menyisakan pendaran cahaya dari bawah permukaan laut. Pi berhasil menyelamatkan diri dengan sekoci. Ia tidak sendiri, ada Richard Parker (seekor macan benggala), hyena, zebra yang kakinya patah, dan Orange Juice (seekor orangutan) yang dengan ajaibnya mengapung di atas bertandan-tandan pisang.
Selepas itu, barulah Life of Pi sesungguhnya dimulai: Pi harus bertahan hidup. Bertahan hidup dari bengisnya angin laut dan makhluk-makhluk berinsang serta penumpang yang ia selamatkan sebelumnya. Dalam perjalanannya, zebra dan Orange Juice tereliminasi oleh gigitan hyena. Richard Parker, akhirnya menjadi teman sekaligus musuh dalam sekoci. Bermodalkan buku panduan cara bertahan hidup dengan halaman tipis, Pi belajar untuk memangsa, atau menjadi santapan terakhir Richard Parker. Simak bagaimana cara Ang Lee untuk mencanda kematian yang digabung dengan efek visual tak hentinya membuat saya membunyikan lidah.
Pada saat melihat trailer-nya, saya kira Life of Pi memiliki kesamaan cerita dengan Momotaro. Berperahu bersama hewan-hewan berpedang untuk melawan kerajaan setan. Nyatanya, saya salah. Lebih dari itu, Life of Pi merupakan cerita epik yang ingin didengarkan sebelum tidur. Life of Pi yang ber-genre mirip Big Fish atau Forrest Gump ini terlalu sempit untuk diberi pagar-pagar imajiner. Jika dicermati lebih lanjut, Life of Pi menyuguhkan cerita yang sangat dalam dan serius tentang theologi. Ang Lee berhasil menyeimbangkan unsur serius dan unsur ringan dengan cara yang spektakuler. Dengan durasi 127 menit, Ang Lee sukses membuat jidat saya berkerut sembari bergumam, “Anjiing! Ngehe bangeet!” lalu pada menit berikutnya tertawa-tawa riang. Dengan cerdas Ang Lee menyelipkan lelucon-lelucon, dari yang slapstick, hingga komedi satir. Indah.
Saat barisan nama credit title memenuhi layar, saya pulang dengan rasa takjub di kepala dan susah untuk pergi. Life of Pi mengobrak-abrik isi kepala saya dalam perjalanan menuju rumah. Life of Pi memiliki koridor yang sangat luas, hingga saya tidak mampu untuk memberi batasan sendiri. Ang Lee dan Yann Martell bermain-main dengan logika. Dengan persahabatan. Dengan imajinasi. Dengan naluri. Dengan tuhan. Dengan teori evolusi. Dengan kematian. Dengan kehidupan.
Life of Pi membuat serial lokal Panji Sang Petualang menangis. Lalu mengurung diri di kamar untuk bermain boneka Barbie. Atau malah Panji sekarang sedang bersembahyang untuk menyembah tuhannya yang baru, Pi.
[Jakarta. 4 Desember 2012. 03:21 AM. Fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H