Biasanya sebuah cerita fiksi akan dimulai dengan "Pada suatu hari". Maka, pada suatu hari tersebutlah sepasang muda mudi yang berwacana. Kita sebut saja mereka adalah Gikri dan Fita. Gikri adalah seorang pengangguran friksional sedangkan Fita sudah bekerja di sebuah perusahaan multinegara. Mereka terpisah kota sejauh sepuluh jam kereta api dan empat ratus ribu rupiah pesawat.
Diasumsikan Gikri dan Fita sedang menjalin hubungan. Mereka kasmaran. Mereka sangat bergantung pada jendela aplikasi pembawa pesan. Dengan adanya hal itu maka, mereka merasa jarak dapat dieliminasi. Memang batas antara fiksi dan fakta hanya setipis kondom.
"Hai!" Fita membuka dialog.
"Halooo!"
"Lagi apa?"
"Lagi nungguin kamu nyapa."
"Ergh!"
Perbincangan digital dimulai. Mereka berbincang - bincang cukup lama. Berbicara tentang apa saja seperti layaknya dua manusia yang sedang memadu kasih. Bahasa ini terlalu sinetron, tapi biarlah namanya juga fiksi. Dialog mereka terhenti ketika Fita harus kembali fokus ke pekerjaannya. Gikri memutuskan untuk bermain komputer.
Seharusnya Gikri makan siang, tetapi uangnya telah menipis jauh dari waktu yang seharusnya. Ia memilih menunda makan hingga pukul lima sore. Biar sekalian makan malam, pikirnya. Matanya tiba-tiba tertuju pada sebuah notifikasi di aplikasi situs jejaring sosial. Ajakan untuk ikut berpartisipasi membuat kolaborasi fiksi.
"Bikin cerita fiksi yuk!" Gikri mengajak Fita menulis cerita fiksi. Gayung bersambut. Byur. Fita izin mandi terlebih dahulu. Sudah hampir setahun ajakan menulis bareng tidak pernah datang. Menulis bersama itu semacam bercinta. Harus pakai gerakan dan perasaan yang tepat untuk kemudian sampai ke puncak. Orgasmik literasi. Makanya Fita izin mandi dulu. Supaya bersih dan wangi, selain juga karena kebelet berak.
"Iyah! Kita nulis ini aja Gik! Seolah - olah kita tetangga kosan." Fita mengetik penuh semangat.