“Ayah pulang ga, Bu?” Sela Hamim.
“Engga, Mim. Kita lebaran berdua aja.” Jawab ibu yang sedang memarut kelapa.
“Ayah masih sakit? Kapan sembuhnya?”
“Ga tau. Udah kamu mendingan bantuin ibu. Itu ambilin saringan. Ibu mau bikin santan buat opor.”
Siang. Mendung. Ibu Hamim selalu memasak opor ayam untuk dihidangkan saat lebaran. Hamim bergegas menuruti permintaan ibunya, mengambil saringan. Kelapa yang sudah diparut akan diperas untuk diambil santannya.
Hamim dan ibunya tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil. Kamarnya hanya dua. Dapur dan ruang tengah menjadi satu. Kamar mandinya sangat kecil. Bahkan mereka harus menghemat air untuk mandi karena keterbatasan air. Hamim dan ibunya baru saja pindah ke kota Mojokerto. Baru tiga bulan. Meski lingkungan tempat tinggalnya masih asing, suasana lebaran selalu istimewa di keluarga mereka.
Ibu Hamim berperawakan agak gemuk, rambut agak ikal di bagian ujungnya, dan tahi lalat di bawah bibir. Hamim masih duduk di sekolah dasar. Tubuhnya bongsor untuk ukuran anak seusianya. Nilainya agak di bawah rata-rata. Sering pindah sekolah menjadi hambatan prestasi Hamim. Walau begitu, sebenarnya Hamim adalah anak yang cerdas. Hamim cepat bergaul. Ia cepat berbaur ke dalam lingkungan rumah barunya. Teman-teman baru Hamim sering bertandang ke rumah untuk bermain. Entah kelereng, entah monopoli.
***
Sudah tiga minggu ayahnya tidak berada di rumah. Hamim selalu mendapat jawaban yang sama dari ibunya: sakit. Padahal ayah tak pernah mengeluh sakit di depan Hamim. Ayahnya memang sering masuk angin. Tapi itu tidak sampai seminggu. Paling lama tiga hari. Biasanya setelah dikerik ibu, ayah langsung sembuh.
Mungkin ibu juga sudah bosan menjawab pertanyaan Hamim tentang ayahnya. Lagipula ibu juga tidak tahu keberadaan ayahnya. Sebelum ayahnya sakit, ia masih sempat mengantar Hamim ke sekolah dengan motor. Hamim harus berangkat ke sekolah sendiri setelah hari itu. Ia tidak pernah melihat ayahnya lagi. Hamim pernah menghubungi telepon seluler ayah. Hamim berhenti menelepon setelah empat lima kali mencoba, hanya suara operator perempuan yang menjawab.
Setahun sebelumnya, Hamim tinggal di Semarang. Mereka tinggal bahagia di sana. Hamim tak menyangka hidupnya berubah drastis semenjak polisi bolak-balik ke rumahnya. Setelah itu, Hamim dan orangtuanya menjadi nomaden. Sering berpindah rumah dari satu kota ke kota yang lain. Yang ia tahu ayahnya adalah orang yang baik. Tidak pernah berbohong.
Ayah begitu baik kepada Hamim. Dahulu, ayah bekerja pada negara. Hamim tahu itu. Dalam seragamnya, tertulis “Pemerintah Kota Semarang”. Hanya saja Hamim kesal kepada ayahnya. Ia tak mengerti pekerjaan ayahnya yang menyebabkan sering bergonta-ganti tempat. Tentu saja menyebabkan Hamim harus pindah sekolah dan berkenalan dengan teman baru lagi.
Lebaran tinggal menghitung jam. Ketupat sudah hangat terhidang di atas meja makan. Opor ayam sedikit lagi matang. Takbir sudah berkumandang selepas maghrib. Hamim larut bermain mercon bersama teman-teman barunya di depan masjid. Ibunya memilih menonton televisi sambil menunggu opor benar-benar matang.
***
Pagi hari, Hamim dibangunkan ibu untuk sholat ied. Ia disuruh segera mandi dan bersiap-siap untuk menuju masjid beberapa puluh meter di belakang rumahnya. Hamim beranjak dari tempat tidur dengan lamban. Ia masih ngantuk. Perlahan ia bangun dari kasur dan mengambil handuk dari jemuran. Ia mandi. Ibu Hamim sudah rapi. Ia menyalakan kompor gas dengan api kecil untuk menghangatkan opor ayam.
Lima belas menit kemudian Hamim sudah siap untuk berangkat ke masjid. Ia mengambil beberapa lembar koran bekas sebagai alas sajadah untuk sholat ied. Hamim tidak begitu menikmati lebaran tahun ini. Ia kehilangan ayahnya yang selalu menggandeng tangannya saat berangkat ke masjid.
Begitu sholat ied selesai, Hamim dan ibunya kembali ke rumah. Para tetangga sudah terlihat memenuhi jalan kecil di depan rumahnya. Beberapa singgah ke rumah Hamim. Ibu menerima mereka dengan penuh sukacita. Tamu-tamu mampir silih berganti ke rumah Hamim. Ibu dengan senang hati membukakan pintu dan bercengkerama.
“Ayo ibu-ibu, cobain opor ayam saya. Beda deh dari yang lain.”
Ibu menawarkan opor ayam kepada para tamu. Tiga empat orang mencicipi hidangan yang ditawarkan. Beberapa memilih kue kering untuk teman ngobrol. Rumah Hamim nyaris tak pernah berhenti kedatangan tamu hingga selepas lohor.
Hamim rindu ayahnya.
***
Pukul dua, rumah Hamim berangsur-angsur sepi. Hamim membantu ibu mencuci piring bekas tamu. Ibunya beristirahat di ruang tengah. Tiba-tiba terdengar pintu diketuk.
“Mim, coba liat nak, siapa yang dateng. Ibu mau make kerudung dulu.”
Ibu mencari kerudung di kamar. Hamim bergegas menuju sumber suara. Ia membuka perlahan.
“Hamim, ibumu mana?”
Hamim bergeming.
“Hamim! Mana ibumu?” Nadanya meninggi.
Hamim tak mengenalnya. Orang itu terus merangsek masuk ke dalam rumah Hamim. Ia tak kuasa menolak.
“Wati!” Orang aneh itu memeluk ibu Hamim.
Ibu Hamim bingung. Ia juga tak mengenali. Mukanya asing. Sangat asing. Tapi hanya satu orang yang memanggilnya Wati: Suaminya.
“Ya ampun, kamu berubah!” Jawab ibu setelah lima belas detik memicingkan pandangan ke wajah suaminya. Masih tampak bekas jahitan yang belum kering di bawah kantung mata. Tulang pipinya terlihat lebih menonjol. Dagunya melebar. Kain kasa menempel di samping pelipis. Hidungnya lebih mancung satu centimeter.
“Iya, ini bagian dari program. Dua hari lagi kita pindah ke Klaten.”
[Jakarta & Cirebon. Agustus & September 2012. Fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H