Dua kosong satu satu.
Tahun yang kembali dimulai dengan hilangnya rambut yang sudah saya rawat sekitar dua tahun. Ada alasan cukup penting mengapa saya harus memangkas, saya tak pernah melihat senior (ataupun junior) tetap gondrong saat sidang. Yah walaupun memang jarang pria gondrong di kampus saya.
Tahun yang memepatkan masa kuliah saya yang hampir enam tahun menjadi enam puluh lima halaman, belum termasuk lampiran, dengan judul “Manajemen Rantai Pasokan pada Industri Musik Independen, Studi Kasus pada Melancholic B1tch.”
Tahun yang memepatkan apa yang sudah saya pelajari (sebenarnya bisa dihitung sedikit) di masa kuliah menjadi satu hari. Lebih sempit lagi, setengah jam untuk skripsi dan setengah jam untuk pertanyaan kompre.
Tahun yang membuktikan tiga sloki scotch dari Skotlandia di malam sebelum sidang skripsi adalah tidak baik. Saya gagal di sidang pertama yang mengakibatkan harus mengulang satu bulan ke depan.
Tahun yang akhirnya saya lulus kuliah, walaupun harus sidang kompre dua kali. Maaf, otak saya memang hanya secuil.
Tahun yang akhirnya dosen pembimbing saya bisa melepas kutukannya karena harus membimbing mahasiswa macam saya.
Tahun analog! Perjalanan beberapa puluh jam untuk belajar dari suku Baduy, analog sungguh indah!
Tahun yang melihat sahabat di televisi. Hey Putra! Saya rindu berkontemplasi! Dengan anggur merah, dengan rokok, ah dengan apa sajalah!
Tahun yang cukup baik untuk tulisan saya. Sempat menjadi pemenang untuk lomba di radio. Suara saya juga sempat mengudara beberapa detik. Hehe.
Tahun yang keren. Secara hitam di atas putih, ada dua huruf tambahan yang mengekor setelah nama panjang saya, Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (FIKRI), SE. Dua huruf yang lebih senang saya artikan sebagai Sering Ereksi.
Tahun yang berkostum aneh. Demi formalitas, topi segi lima dan jubah hitam panjang terpaksa saya kenakan.
Tahun yang aneh pula, ritual berpotret di depan lukisan rak buku bersama orangtua ternyata cukup penting bagi orangtua. Padahal saya tidak begitu menyenanginya.
Tahun yang meresmikan saya sebagai beban negara. Bersama jutaan orang lainnya.
Tahun yang merayakan dua belas bulan dengan pacar saya.
Tahun yang penuh makna, terutama makna Curriculum Vitae.
Tahun yang sungguh sangat sedih. Meninggalkan kota terkeren sedunia sungguh sangat sedih. Yogyakarta, saya janji akan mengunjungimu dalam waktu dekat.
Tahun yang membuat galau. Saya kadang-kadang benci dengan kemujuran. CV yang sudah saya sebar ternyata berbuntut panjang. Beberapa tertarik hingga menerima saya, sayangnya di waktu yang bersamaan.
Tahun yang membuat saya menjadi pegawai. Harus tunduk pada atasan dan rutinitas. Walaupun pekerjaannya menulis, tapi tapi dan tapi.
Tahun yang membuat saya menjadi salah satu penyebab kemacetan ibukota.
Tahun yang “Ohh gini toh rasanya dapet gaji!”
Tahun ketika saya membeli Gudang Garam Filter dengan hasil keringat sendiri.
Tahun yang berat untuk hubungan saya dan pacar. Perbedaan sebutan tuhan, pacar saya memanggil tuhan dengan Yesus, dan saya lebih sering tidak memanggil, ternyata membuat konflik eksternal. Orangtua pacar tidak bisa menerima saya. Mau berkembang biak saja sulit, harus melihat latar belakang dan kepercayaan. Ya sudahlah.
Tahun yang dipenuhi akhir pekan dengan orang yang itu-itu saja.
Tahun rutinitas. Berangkat setengah delapan, pulang setengah delapan. Fase baru, fase yang menyebalkan.
Menjadi dewasa memang sangat menyebalkan.
[Jakarta. 26 Desember 2011. 03:31 AM. Fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H