Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cerita Awal Tentang Awalnya Cerita Absurd - Satu

4 Oktober 2010   06:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada umumnya, semester dua kelas tiga SMA adalah fase belajar demi lulus UAN dan mencari universitas atau perguruan tinggi untuk melanjutkan pendidikan.  Itu berlaku juga buat saya, walaupun saya bukan pada umumnya.  Saya belajar sangat giat. Dan niat. Semua pelajaran tambahan, saya ikuti dengan khidmat dan khusyuk. Tidak seperti semester satu, ketika pelajaran tambahan saya minggat ke belakang kantin untuk merokok, pura - pura sakit agar bisa tidur di UKS yang ternyata sudah banyak yang pura - pura sakit di sana, atau malah main gitar di belakang kelas. Hahaha. Saya membeli banyak buku dengan judul serupa. Ada kata - kata "SPMB", "Universitas Negeri", dan "Sukses". Setiap waktu luang saya manfaatkan dengan menjawab soal dan membaca ringkasan pelajaran. Terdengar sangat bukan "fikri". Haha. Bahkan ketika membeli gorengan di kantin sekolah, kertas pembungkus tempe atau tahu yang merupakan daur ulang dari soal, juga saya kerjakan. Hahaha Okay, kalau buat saya, berarti tambah satu fase lagi selain dua fase yang sudah tersebut , fase kesempatan membolos sekolah. Kesempatan yang  terbuka lebar dengan alibi mengambil  formulir atau mengembalikan formulir universitas. "Pak, saya mau izin pulang cepet" "Kamu sakit?" "Ngga Pak, mau ngambil formulir pendaftaran universitas Y" "Ya sudah kalau begitu" Guru piket yang berjaga di dekat tangga menandatangani surat izin meninggalkan sekolah. Mungkin terpicu melihat tampang saya yang sungguh - sungguh serius ingin mendapatkan gelar sarjana yang bukan merk kapur. Saya mendapat surat izin meninggalkan kelas dan keluar sekolah. Tapi saya tidak pergi ke universitas Y dan mengambil formulir, saya nongkrong di warung tegal sebelah sekolah. Pekan depannya, saya melakukan hal yang sama untuk membolos. Saya menggunakan modus yang sama. Tapi kali ini dengan persiapan lebih matang agar lebih meyakinkan. Saya membawa selebaran pengumuman pendaftaran kuliah universitas Y "Bu, saya mau minta izin pulang cepet" "Kamu mau daftar di mana?" "Universitas Y, Bu. Ini saya bawa posternya", sambil menyerahkan posternya. "Ya sudah, tapi jangan pulang. Abis ngambil formulir, balik lagi ke sekolah!" "Baik Bu!" Dan lagi - lagi saya nongkrong di samping sekolah dan tidak balik ke sekolah lagi. Saya menikmati hari tanpa omelan guru dan pelajaran tambahan. Lalu cara saya ditiru oleh teman - teman sekelas dan seangkatan. Seminggu itu kelas mendadak sepi. Semua berbondong - bondong membawa poster pengumuman pendaftaran kuliah dari banyak universitas. Pekan ketiga, saya masih menggunakan cara yang sama. Tapi dengan alasan mengembalikan formulir. "Pak, ...", belum sempat meminta izin sudah dipotong. "Ngga! Ngga! Kamu pasti juga mau izin pulang kan? Ahh palingan kamu boong. Ntar juga pasti nongkrong di warteg kan? Kalau mau keluar sekolah, mulai sekarang, harus bawa surat izin dari orang tua" "Tapi Pak, hari ini hari terakhir ngembaliin formulir. Kalo ga hari ini ga bisa, Pak. Sayang duit formulirnya kan" "Ga pake tapi! Pokoknya ngga!" "Ahh sialan bangsat, cara gue udah ga mempan lagi sekarang", tentu saja dalam hati. Tidak mungkin saya mengucapkan kalimat itu di luar hati. Itu mengeluarkan anggota badan dengan sukarela namanya. *** Hingga pada suatu hari, Bu Anna, guru bimbingan konseling, menawarkan secara serius agar saya mengikuti ujian tulis di UGM. Waktu itu, UGM belum masuk dalam daftar tujuan. Dengan halus, Bu Anna menyuruh saya untuk mengikuti tes tulis ini. Saya benar - benar tidak tahu, saya minat jurusan apa. Mendengar kata UGM, saya jadi terbayang Jogja. Menyenangkan juga bolos tiga hari demi alasan UGM. "Bu, tesnya harus di sekolah atau bisa di Jogja?" "Hmm, sebentar. Oohh bisa di Jogja, daftarnya online lewat internet ya. Nih kamu bawa aja brosurnya" "Oke Bu! Eh Bu, kira - kira saya cocok jurusan apa ya?" "Kamu itu cocoknya komunikasi! Liat tuh! Kamu kan punya geng. Kamu kan pemimpinnya! Kamu pasti jago ngomong sampe mereka mau ngikutin kamu. Cocok deh kalo jadi PR" "Heh? Geng apa Bu?" "Itu anak Bude tiga angkatan kamu kan yang megang?" "Hahaha, bukan Bu. Anak Bude bukan geng, cuman anak - anak yang sering makan di warteg doang. Lagian juga ga ada pemaksaan ga ada perekrutan. Yang ngasih nama anak Bude juga temen - temen yang lain sama guru" "Tapi anak kelas dua sama anak kelas satu selalu ngikutin kemana kamu pergi. Anak kelas satu di depan kamu terus anak kelas dua di belakang kamu. Udah kayak mafia di film aja" "Hahahaha ngga Bu. Itu mah kebetulan aja lagi jalan bareng. Saya ga pernah nyuruh mereka ke warteg Bude kok, Bu. Lagian saya juga ga pernah macem - macem sama mereka" "Tapi kalo kamu lagi ke kantin gitu, anak buah kamu banyak yang ngikutin kamu di belakang" "Ibu, saya ga punya anak buah. Itu anak kelas satu sama kelas dua lagi kebetulan lewat bareng saya aja. Jadi terlihat seperti ngikutin saya. Anak bude itu cuman anak - anak yang suka nongkrong di warteg abis makan. Mereka sekalian nunggu jemputan. Jadi anak bude itu bukan geng, Bu" "Ya udah pokoknya kamu berbakat jadi pemimpin" "Lah terus ini mau ngomongin anak Bude atau UGM?" "Oiya ya, jadi keasikan, ya udah kamu komunikasi aja. Pas buat kamu" "Sip, Bu!" Atas dasar dialog di ataslah saya akhirnya memilih jurusan komunikasi. *** Akhirnya saya mendaftar UGM secara digital. Saya menuruti Bu Anna. Saya tertarik juga dengan jurusan komunikasi. Saya rasa saya akan menikmati kuliah di komunikasi. UGM menyediakan dua pilihan jurusan ketika mendaftar. Saya ragu, saya tak punya pilihan kedua. Pilihan saya hanya komunikasi. Lalu melihat daftar jurusan yang ditawarkan dengan mengecek passing grade masing - masing, saya memilih manajemen. Setelah melihat passing grade manajemen yang lebih tinggi daripada komunikasi, maka saya menempatkan manajemen sebagai pilihan pertama. Saya menumbalkan manajemen agar bisa masuk komunikasi. Passing grade manajemen terlalu tinggi untuk bisa dijangkau. Saya pikir dengan kemampuan yang terbatas ini, manajemen akan tidak mungkin diraih. Lagipula manajemen hanya tumbal untuk mendapatkan pilihan kedua. Saya berangkat ke Jogja dengan niat rekreasi. Sepertinya belajar terlalu banyak memakan spasi di otak saya yang berongga sempit. Saya jenuh. Ingin jalan - jalan. Ingin klik kanan di desktop lalu pointer diarahkan ke refresh. Terlalu lama di Jakarta bukan sesuatu hal yang dapat dibanggakan. Seperti biasa, orang Indonesia selalu saja meminta oleh - oleh kalau kerabatnya bepergian. "Fik, lo mau ke Jogja ya? Beliin gue oleh - oleh dong. Bakpia ya!" "Iya kalo bisa gue beliin deh buat lo" "Asik nih ke Jogja! Fik, beliin gue batik dong!" "Iya nanti kalo sempet gue jalan - jalan ke Malioboro gue beliin deh" "Fik beliin gue rokok yang aneh - aneh dong. Di Jogja kan banyak tuh yang jual tembakau gitu" "Iya gue usahain deh" "Fik, beliin gue lumpia dong" "Lumpia itu dari Semarang, Bego!" Mereka yang meminta oleh - oleh sepertinya lupa kalau saya pergi ke Jogja bukan untuk plesir. Saya ujian! Saya ingin melanjutkan pendidikan! Saya ingin berguna bagi bangsa dan tanah air tercinta! Saya ingin Indonesia lebih maju! Saya mengetik ini dengan posisi tangan ke dinding, badan condong miring, posisi kepala menghadap langit, dan sinar matahari menerpa wajah. *** Sesampainya di Jogja, saya mencari hotel, karena rumah teman saya yang ingin saya malami, sedang kosong. Ia sedang pulang ke Solo. Hotel di sekitar UGM sudah penuh.  Momen ujian tulis UGM menjadi siklus padatnya tingkat hunian hotel tahunan. Seharusnya pemerintah daerah melihat peluang  ini. Akhirnya saya terpaksa menginap di hotel yang agak jauh dari universitas. Saya benar - benar buta Jogja. Yang saya tahu hanya Malioboro. Standar wisatawan. Diperparah lagi dengan keskeptisan saya terhadap arah mata angin. Saya tidak mengerti dengan apakah saya harus pergi ke lokasi ujian dan bahkan saya tidak tahu di mana Perpustakaan UGM yang menjadi lokasi ujian. Malu bertanya sesat di jalan, katanya. Sambil berdalih membeli rokok, saya bertanya kepada penjaga warung. "Mas rokok yang ini sebungkus. Berapa?" "delapan ribu mas" "Mas maaf, mau nanya", sambil menyerahkan sepuluh ribuan. "Sik, mas. Opo?" "Kalau ke Perpustakaan UGM gimana caranya ya mas?" "Wah ga tau aku Mas" "Oh ya sudah Mas, makasi  yah!" Orang pertama, gagal. Nihil. Orang kedua: tukang tambal ban di sekitar hotel "Maaf Mas ganggu sebentar. Mau nanya" "Ya gapapa mas, apa Mas?" "Kalo ke perpustakaan UGM itu gimana caranya ya mas?" "Ohh, naek mbecak aja" "Kira - kira kalo naek becak ongkosnya berapa ya mas?" "Wah kurang tau saya" "Oh yaudah Mas. Makasi ya!" "Yooo" Orang kedua gagal juga. Orang ketiga: Penjual makanan di sekitar hotel "Bu, loteknya satu ya. Pedes banget bu" "iya Mas, minumnya apa?" "Es teh manis aja bu" "Dek es teh manis buat masnya!", si ibu memerintah anaknya. "Bu, kalau ke perpustakaan UGM gimana caranya ya?" "Ohh gampang mas. Perempatan yang itu, mas ke utara aja" "Ooh dari perempatan ke kiri?" "Bukan, ke utara Mas" "Lurus?" "Bukan, ke utara, Mas" "Kanan?" "Iya ke utara" "Jauh ya Bu? Bisa jalan kaki ga?" "Jangan jalan. Naik bis aja" "Bis nomer berapa Bu?" "Wah ga tau saya" Orang ketiga setengah gagal. Orang keempat: resepsionis hotel "Mas, kalo mau ke perpustakaan UGM naik bis nomer berapa?" "Kurang tau Mas. Naik ojek atau taksi aja Mas" Ergh. ---------------------------- *dilanjutkan besok [jogjakarta. 4 Oktober 2010. 01:00 PM. fikri]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun