“Coba kau lihat itu!”
“Mana?”
“Di sana,” ujarku. Pandangannya mengikuti telunjukku. “Apa yang kau lihat?”
“Mercusuar?”
“Pejamkan matamu sebentar, lalu lihat lagi.”
Ia menutup matanya, lalu mengambil nafas. Lima detik kemudian ia kembali membuka matanya.
“Mercusuar.”
“Masih mercusuar? Kamu tidak melihat apapun selain mercusuar?”
“Tidak.”
Pertemuan pertama dengan Tyas terjadi hampir tiga tahun yang lalu. Saat itu aku hendak menuju Yogyakarta. Ia datang dan duduk tepat di sebelahku. Aneh. Ketika bukan hari libur, Stasiun Jatinegara tidak begitu padat, tapi mengapa ia memilih bangku di sebelahku.
“Maaf Mas, sekarang jam berapa?”
Pertanyaanku di kepala terjawab sudah.
“Oh sebentar, Dik.” Saya melihat pergelangan tangan, “Jam setengah lima, Dik!”
“Setengah lima pas?”
“Tadi sih pas, tapi sekarang sudah lebih tujuh belas detik. Delapan belas. Sembilan belas.”
Ia tertawa, memperlihatkan rangkaian gigi serinya yang mungil.
“Arlojinya antik, Mas.”
“Peninggalan kakekku, dari jaman Belanda.”
“Tyas,” ia menjulurkan tangannya.
“Anton.”
Sambil menunggu kereta tiba, kami berbicara panjang. Tyas adalah mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta. Sesekali ia pulang ke kampung halamannya, Jakarta, untuk menengok kedua adiknya yang masih bersekolah. Tubuhnya mungil, rambutnya sebahu. Ia sisakan poni untuk menutupi keningnya.
Kami bertemu lagi di Stasiun Lempuyangan, Yogyakarta. Ia hanya memberi senyum dan anggukan kecil saat saya ajak sarapan di sekitar kawasan Malioboro. Kami berbagi jok sempit becak pagi itu.
Semenjak saat itu, aku kerap mengunjunginya saat berdinas ke Yogyakarta. Tak jarang ia menyelipkan kata “kangen” di dalam suratnya yang selalu wangi. Hal sederhana yang membuat aku begitu merindu Yogyakarta.
***
Esok hari aku akan kembali mengunjunginya. Ada beberapa pekerjaan yang menunggu untuk diselesaikan di sana. Dua minggu lalu, surat dari Tyas terselip di bawah pintu rumahku.
Saat aku berada di Yogyakarta, ia selalu memintaku untuk menemaninya. Aku hampiri ia ke rumahnya. Mengajaknya pergi untuk melihat pantai. Merasakan angin laut membelai-belai wajah. Mendengar gulungan ombak menghantam tebing karang.
“Kamu berubah.”
“Kamu juga. Sekarang rambut panjangmu palsu.”
“Hahahaha. Kita semua pasti berubah.”
Ia menutup matanya, lalu mengambil nafas. Lima detik kemudian ia kembali membuka matanya.
“Mercusuar.”
“Masih mercusuar? Kamu tidak melihat apapun selain mercusuar?”
“Tidak.”
“Kamu tahu fungsi mercusuar selain alat navigasi?”
“Tidak, kamu tahu?”
“Rumah.”
“Rumah?”
“Iya, rumah. Banyak burung yang menggantungkan hidupnya di sana.”
“Umurku tidak panjang lagi.”
“Umurku juga.”
“Aku ingin mati di sampingmu.”
“Kamu jangan berbicara seperti itu.”
“Kenapa?”
“Pokoknya jangan.”
“Kalau aku mati, siapa yang membetulkan kerahmu? Siapa yang mengirimimu surat?”
“Entahlah, kurasa tidak ada.”
“Kamu harus segera cari pendamping.”
“Buat apa?”
“Buat kamu.”
“Aku tidak butuh.”
“Kamu butuh.”
“Tidak.”
“Setidaknya lakukan demi orangtuamu, mereka pasti ingin menimang cucu darimu.”
“Hahaha. Kamu bicara apa.”
Tyas menatapku sekali lagi. Tajam.
“Arlojimu masih sama kan? Jam berapa sekarang?”
“Jam setengah lima.”
“Jam setengah lima pas?”
“Tadi sih pas, sekarang sudah lebih tujuh belas detik. Delapan belas. Sembilan belas.”
Ia tertawa.
Sumber gambar dari sini.
[Jakarta. 9 Desember 2012. 11:17 PM. Fikri]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H