Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Dongeng

Dear Hujan

28 November 2013   21:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:33 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13856491961875968297

Dear hujan, Kamu iringi kesedihan-kesedihan lama yang penuh dengan agenda menjijikkan. Terbuang begitu saja ke tempat sampah, tempat yang seharusnya dilihat jika memang ada sesuatu yang bisa didaur ulang. Aku menirukan gagak. Dianggap pembawa sial, namun siapa lagi yang mau memakan bangkai tikus yang terlindas roda sedan di atas aspal? Masih ingatkah saat kamu turun menyelinap masuk di antara genggaman jemariku dengannya tiga tahun lalu? Kamu menyusup dengan angkuh. Kamu memapahku dengan lembut, menyapu dedaunan yang mengatup, basah dan gemerisik. Kamu membuatku makin terisak dengan usapan rintikku di alismu? Pepohonan, padang rumput, kupu-kupu, dan katak menyerukanmu dengan lantang. Mereka bergabung sebagai suatu kesatuan menjadi provokator alam semesta untuk menghipnotis waktu. Menghipnotis orbit galaksi. Mungkin untuk berhenti sejenak, namun berhenti bukan berarti tidak berputar. Ada hal-hal yang tidak pernah berhenti berputar, Mojacko misalnya. Sudah lama kamu tampil sebagai pahlawan dalam buku pelajaran. Kamu jejali otak mereka dengan kalimat yang akan dikeluarkan secara periodik, kamu tahu hal itu. Aku tahu kamu tertawa-tawa di belakang layar sambil menghisap cerutu. Hahaha sayang sekali, aku masih melihat asap residu yang kamu hembuskan menutupi cahaya bola lampu, bagai halimun di lereng Gunung Salak. Ini hidup, singa-singa yang tergolek manja di Tanzania mulai bergerak menyambutmu. Rusa berloncatan ke sana-sini merayakanmu. Padahal, taring-taring menyeringai menunggu kaki-kaki mungil mereka dari dalam permukaan genangan. Sekali salah langkah, rusa betina pun harus mencari pejantan baru. Kamu masih saja berkeliling pada ulir baja yang kokoh menopang kaki pincangmu. Teratai-teratai di atas rawa sempit memanggil namamu dengan berbagai sebutan. Dagumu masih tinggi, ingat mereka juga butuh kamu. Bukan hanya aku yang menginginkanmu, malam hari seperti ini saat alkohol tidak lagi membius sukma raga. Sadar sepenuhnya bisa membuat rangkaian aksara. Itu hanya sugesti, lagipula jika kamu membaca, ini tidak artinya sama sekali. Sama sekali. Masih ingatkah saat kamu jatuh? Kamu jatuh, aku menyoja. Bungkuk mendekat bumi untuk memberimu hormat. Butiran air terus menyetubuhi kepalaku. Memukuli pelan untuk tersadar agar segera bangkit. Bangkit dari melamun menunggu reda. Tangga pelangi akan segera tiba, begitu kata lagu. Lagu untukmu. Dear hujan, Masih ingatkah saat kamu menolongku? Kamu sembunyikan tangisku yang deras, tetesanmu menyamarkan luka yang meleleh dari tepi mataku. Deraumu merahasiakan parauku dari celah-celah ingatan yang alpa. Rasa sakit yang diam-diam mengabrasi menumpuk menjadi glasial di dalam sana. Jadi kamu anggap ini karena tetesan di antara rumput-rumput? Hahaha kamu salah. Ini hanya untuk menggenapkan November. Sama seperti ketika Slash keluar dari gereja sambil menenteng gitar. Seharusnya ini ditutup dengan gerakan akrobatik meloncat ke atas piano. Lagi-lagi lagu yang mengagungkanmu. Aku tahu kamu tak peduli, bukan? Kamu dianggap inspirasi, sudah tak terhitung lagi karya tentangmu. Karya tentangmu untuk melupakan rasa sakit. Masih ingatkah kamu saat ayahku pontang-panting mencari bongkahan tanah liat, karena ibuku merindu aroma petrichor? Lalu jika sudah begini, aku harus bagaimana? Berharap padamu agar segera turun dan membasahi pekarangan yang mulai kering, memohon padamu agar bisa kutadah? Beberapa spesies mengaku bahwa dirinya pecinta hujan. Sanggup bahagia menari-nari di bawah hujan dengan kegembiraan. Mereka lupa, mereka hanya menyukai hujan, padahal ada tanah becek yang harus mereka jejaki. Menunggu hujan tapi tak suka becek? Hahaha menyingkirlah jauh-jauh, keparat! *biar kayak buku-buku di etalase best seller toko buku terkemuka di kota Anda. **untuk tema hujan di http://kumpulanspasi.wordpress.com/ [Jakarta. 21 November 2013. 05:32 AM. Fikri]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun