Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya Ingin Menendang Kamu Tepat di Muka dengan Kekuatan Penuh

12 Oktober 2010   08:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:29 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Akhir pekan kemarin sangat meletihkan. Membuat sendi - sendi tidak bergerak seperti seharusnya. Aktivitas menonton Java Rocking Land di Jakarta dan adanya acara Pasar Seni ITB 2010 di Bandung pemicunya. Setelah akhir pekan, hari Senin kemarin, saya kembali menuju mantan ibukota dari ibukota. Dengan menumpang kereta Taksaka. Ditemani Gita, saya menunggu jadwal keberangkatan dengan menyoklat dan menyandwich di Dunkin Donuts. Dan kami berbicara tentang apa saja. Tentang beternak kambing, bertani padi dan bawang, rencana karir ke depan, hingga ke bulu hidung. Berbicara dengannya membuat waktu melesat. Tahu - tahu jadwal keberangkatan sudah dekat. Gita saya antar mencari taksi. Begitu Gita berhasil masuk ke dalam taksi dengan sukses, naiklah saya ke lantai dua. Pada pos pemeriksaan karcis, saya keluarkan dompet dan memberikan tiket Taksaka kepada si petugas. "Taksaka Jogja ke jalur tiga atau empat, Mas", katanya. Dia tidak yakin jalur berapa, padahal baru saja pengeras suara mengumumkan Taksaka sudah menunggu di jalur tiga. Ergh. Dia tidak menyimak. Begitu sampai di tingkat yang lebih tinggi, Taksaka sudah tersedia. Saya memilih untuk menunggu di luar gerbong. Di dalam sangat dingin. Sedang menunggu lokomotif bergerak, datang sesosok pria berbadan besar, berkulit terbakar matahari, rambut cepak dengan ekor yang panjang di bagian belakang kepalanya, bercelana motif loreng ABRI, dan menggegam sebungkus rokok di tangan kanannya. "Bro, ada korek? Pinjem dong" "Ada", saya jawab sambil merogoh saku celana bagian kanan. "Mau, Bro?", sambil menyodorkan rokok Dunhill. "Ngga mas, ada kok" "Yahh barangkali mau rokok luar negeri, di Indonesia kan ga ada" "Hehe, ga doyan rokok putih Mas, makasi" "Mau naik Taksaka juga?" "Iya, ini Taksaka kan?", saya tanya sambil menunjuk gerbong di depan kami. "Iya, saya mau ke Purwokerto" "Ohh, saya ke Jogja" "Berapa harga tiketnya?" "Duaratus tigapuluh" "Lah kok sama kayak ke Purwokerto?" "Hehe ga tau mas, bukan saya yang ngasih harga" "Ga adil banget, mungkin gara - gara satu line kali ya?" "Ya mungkin" "Di Singapur enak Mas, ga usah make tiket. Tinggal nunjukin kartu ke mesin, nanti saldonya kepotong. Terus kalo nanti saldonya udah abis, kita tinggal ngisi aja di ATM. Di Singapur udah canggih. Ga kayak di Indonesia. Ini aja kita masih bebas ngerokok, kalo di Singapur ga bisa. Di sana ketat peraturannya. Ini stasiun ketutup semua, udah pake AC. Ini rokok aja, kalo dirupiahin harganya seratus ribu" "Wah mahal ya, Mas" "Iya, ga sembarangan orang di sana bisa beli rokok. Liat aja nih gambarnya, orang kena kanker. Buat nakut - nakutin orang biar ga beli rokok. Ga kayak di Indonesia , cuman peringatan pemerintah yang bentuknya tulisan" "Hehehe, iya Mas" "Jadi kalo di Singapura, kayak gini tiketnya", sambil menunjukkan kartu di dalam dompetnya. "Nanti kita tinggal nempelin tiket aja di mesin. Terus milih deh kita mau ke mana, nanti portalnya otomatis. Trek, kebuka, trek ketutup", tangannya menirukan pintu portal. "Ohh gitu ya, Mas. Canggih ya?" "Iya udah canggih. Ga kayak di sini, harus beli tiket. Kuno. Nih uang Singapur juga lebih tebel. Ga kayak di Indonesia, tipis. Makanya cepet rusak", kali ini ia mengeluarkan lembaran uang. "satu dolar Singapur itu tujuh ribu Mas. Uang Indonesia ga ada harganya ya. Money changer di sana paling males kalo nerima uang Indonesia, udah lusuh ga ada harganya juga. Bla bla bla" Dalam hati, saya teriak. Teriak agar apapun bisa menyelamatkan saya dari dialog tidak sehat ini. Teriakan dalam hati saya di dengar petugas. "Ting - tong - ting - tong, kereta Taksaka segera diberangkatkan" "Priiiiiiiittt!" "Wah, Mas. Udah dipriwitin. Masuk dulu ya" "Wah iya. Sayang rokoknya, masih panjang. Seratus ribu padahal" "Hehehe" Suara peluit dari dewa penyelamat, membuat saya masuk ke dalam gerbong. Sialan! Ternyata si Mas-yang-menjadikan-Singapura-sebagai-tujuan-hidupnya, berada tiga kursi di depan saya. Ergh. Lokomotif mulai bergerak, diikuti gerbong di belakangnya. Luar jendela sudah menghitam kurang cahaya. *** Harusnya saya duduk di nomer 4D. Tapi gerbong sangat lowong. Saya memilih bangku yang kosong. Agar bisa tidur dengan semena - mena tanpa ada gangguan dari tetangga perjalanan. Juga menjauh dari pria yang tersebut di atas. Sedang mengatur posisi duduk yang nyaman untuk membaca buku Ernest Hemingway, ponsel perempuan-bertubuh-aduhai-berambut-pirang-berbusana-modis yang berada di seberang bangku saya, berbunyi keras. Kemudian ia mengambil ponselnya di dalam tas. Dan menjawab panggilan dengan suara keras. Sangat keras. Saya tidak menguping, tapi menurut saya suaranya terdengar hingga satu gerbong. "Halo, heyy apa kabar lo?" "Iya gua lagi di kereta nih. Mau ke Jogja, balik mau ujian gua. Ngga gini loh, gua cuman mau minta maaf. Minta maaf buat semua ucapan gua yang pernah nyakitin lo. Atau perbuatan gua yang pernah bikin lo sakit hati. Kombinasi keduanya yang bikin lo kesel atau bête sama gua" dengan nada yang terdengar seperti gaya bicara Fitri Tropica. Lawan bicaranya walaupun samar terdengar , saya yakin pria. "Iya lo orang yang sangat berarti dalam hidup gua. Sebelum ketemu lo, hidup gua sucks banget men. Hidup gua hampa. Kayak akuarium ga ada isinya. Tapi semua orang ngeliatin akuarium itu. Gua sayang banget sama lo. Tanpa lo hidup gua Cuman di situ - situ aja. Ga ada bedanya sama orang gila. Gua sampe sekarang kalo berdoa, bersyukur tuhan mempertemukan kita. Lo udah ditakdirin ketemu gua. Begitu juga sebaliknya. Pokoknya gua akan selalu ada buat lo karena lo selalu ada buat gua. Lo soulmate gua. Lo sahabat terbaik gua. Lo pasangan gua." Saya yang merasa terganggu dengan percakapan itu, batuk. Batuk karena menahan tawa. Sungguh, saya ingin sekali tertawa ngakak pada saat itu. Mata saya mencari kamera di dalam gerbong, karena saya kira ada syuting sinetron. Dialog seperti itu sangat familiar di sinetron. Tapi ternyata kamera tidak ada, dan dialog itu asli! Hahaha. "Pokoknya lo ga bakal gua lupain. Seandainya gua amnesia, nama lo akan selalu di hati. Ga bakal lupa. Seandainya amnesia kronis juga nama lo masih membekas di ingatan gua" Saya makin ingin tertawa. Saya baru tahu, kalau amnesia bisa memilih ingatan. Hahaha. Saya hanya memandang ke jendela dan tertawa tanpa suara. "Halo, halo, yaah putus lagi", saya senang sekali. Polusi suara sudah menghilang. Tak lama setelah itu, ponselnya kembali. Dan saya kembali cemberut. Dia kembali menjadi polutan. "Halo, hey gua lagi di daerah ga ada sinyal, udahan aja. Sayang pulsa lo buat nelponin gua. Yang penting buat gua adalah lo udah tau betapa berartinya kehadiran lo dalam hidup gua" Lalu ponsel dimasukkan kembali ke dalam tas. Saya meneruskan membaca buku "The Old Man and The Sea" karya Ernest Hemingway. Sedang serius membaca, ponsel perempuan itu berbunyi lagi. Saya meletakkan pembatas buku, dan menutup buku. "Halo, iyo aku wis neng sepur. Aku arep bali neng Yojo. Iyo aku juga sayang karo kowe. Aku tresno karo kowe. Kowe sing menghidupkan aku seko turu suwi ku. Aku ra iso hidup kalo ra ono kowe. You're my everything in my life jarene wong londo. Aku tenanan tibo karo kowe. Ra masalah aku adoh - adoh nemuin kowe. Aku ra urusan karo omongane wong liyo tentang kowe. Aku ra peduli. Sing penting aku tresno karo kowe" Translasi: "Halo, iya aku udah di kereta. Aku mau balik ke Jogja. Iya aku juga sayang sama kamu. Aku cinta kamu. Kamu itu yang menghidupkan aku dari tidur lama ku. Aku tidak bisa hidup kalo ga ada kamu. You're my everything kalo katanya orang bule. Aku beneran jatuh cinta sama kamu. Ga masalah aku jauh - jauh buat nemuin kamu. Aku ga ngurusin omongan orang lain tentang kamu. Aku ga peduli. Yang penting aku cinta kamu" Perut saya makin sakit akibat terlalu banyak menahan tawa. Hebat sekali, perempuan ini. Menggombali dua pria dengan dua karakter berbeda. Mutakhir sekali! Hahaha. *** Saya melanjutkan membaca. The Old Man and The Sea terlalu menyenangkan untuk disimak.  Lembar - demi lembar sudah terbaca. Petugas kondektur dengan asisten dan satu polisi datang dari lokomotif memeriksa tiket. Saya menyiapkan karcis di sebelah kursi saya. Si kondektur bersama dua orang petugas yang lain berhenti di salah satu penumpang. Saya kira ia tidak membawa karcis. Tetapi ternyata penumpang itu ialah si pria-yang-membanggakan-Singapura tadi. Lagi - lagi suaranya terdengar. "Mas, kok turun di Purwokerto sama di Jogja harganya sama" "Kita hanya memeriksa karcis mas, kalo masalah harga, yang nentuin perusahaan, bukan saya" "Tapi ga bisa gitu dong. Itu ga adil namanya. Gimana Indonesia bisa maju kayak Singapura kalo begini caranya" "Iya mas, saya ngerti. Nanti keluhan mas, saya sampaikan ke pimpinan saya. Saya ga tau - menau masalah harga karcis. Tugas saya hanya memeriksa" Kemudian, si polisi ikut bicara. "Ya udah Mas, gini aja. Kalo Mas ga terima harga Purwokerto dan Jogja sama, Mas turun aja di Jogja. Gitu aja repot" Percakapan selesai. Perut saya semakin sakit. *** Membaca membuat mengantuk. Padahal saya tidak pernah mengantuk di kereta eksekutif. Mungkin juga didukung kondisi badan yang lelah karena Java Rocking Land dan Pasar Seni ITB 2010. Lantas, saya membuat diri saya nyaman untuk tidur. Dengan dua bangku, saya bisa tidur telentang dengan kaki terlipat di atas sandaran tangan bangku dekat jendela. Kaki, saya rebahkan di sandaran punggung dan di jendela. Sedang berusaha memejamkan mata, bahu saya ditepuk. "Bro, ngerokok dulu yuk, Bro" "Nanti deh, Mas",  jawab saya malas. Si pria itu mengajak saya merokok. Sialan, sedang enak mau tidur, malah mengundang merokok. Akhirnya saya tidak jadi tidur. Saya bermain aplikasi Solitaire dalam ponsel. Lumayan untuk membunuh waktu. Dengan bermain Solitaire, setengah jam terasa seperti setengah jam. Haha. Kemudian saya memutuskan untuk kembali membaca buku. Untuk mencari kantuk. Tapi kantuk tidak datang juga. Setelah satu jam bermain Solitaire dan membaca, hasrat ingin merokok datang. Saya membuka pintu bordes. Dan merokok di sana setelah melihat sambungan gerbong aman. Aman di sini berarti tidak ada si pria tersebut di atas. Baru saja merokok tiga hisapan, saya haus. Merokok di restorasi sepertinya ide yang menarik. Restorasi berada di tiga gerbong belakang. Berjalan di dalam kereta yang bergerak kencang itu sulit. Orang - orang kereta, seperti kondektur, pramugara, pramugari, dan petugas kebersihan sangat lihai. Mereka tidak harus bertumpu pada kursi. Hebat! Saya iri dengan mereka! Sesampainya di gerbong, jantung saya tidak kuat menerima siksaan baru. Ternyata di pria tadi, sedang mengopi! Ergh tidak! Padahal saya sudah memesan susu putih hangat, tidak mungkin dibatalkan. Oleh karena itu, saya memilih bangku yang jauh dari pria tersebut. Lagipula si pria itu sedang sibuk dengan lawan bicaranya yang baru. Puji tuhan. Dari dialog yang terdengar, ternyata mereka sama. Mereka adalah TKI. Si pria tersebut di atas bekerja di Hongkong, sedangkan lawan bicaranya adalah TKI yang bekerja di Timur Tengah. Masing - masing sedang menceritakan pengalamannya. Saya lebih tertarik menyaksikan, para petugas kereta api bermain kartu di meja sebelah saya. Jreng! Tiba - tiba si pria tersebut di atas, sudah berada di depan. Saya hanya bisa tersenyum. Tersenyum ironis. Ia menunjukkan ponselnya. Yang lagi - lagi dibeli di Singapura. "Bro, kok hp saya ga bisa baca file ya?" "Mungkin emang ga bisa baca format filenya, Mas. Mungkin juga corrupted filenya Mas. Jadi ngopinya ga bener" "Terus gimana, Bro?" "Beli aja hp yang baru, gampang kan" "Iya deh nanti beli yang baru di Singapura, kalo di sini mahal mas", bangsat! Salah ngomong saya. "Mas kuliah?" "Iya, di Jogja" "Oh rumahnya di Jakarta terus kuliah di Jogja?" "Iya di UGM" Sambil mengobrol, dia membeli sebungkus Marlboro merah. Petugas restorasi menyanggupi permintaannya. Kemudian Marlboro berpindah tangan. Ia buka, kemudian satu persatu batang Marlboro dipindahkan ke dalam bungkus Dunhill Singapura kebanggaannya. Demi gengsi rokok luar negeri, ternyata manusia mampu melakukan hal - hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. "Saya duluan ya, Bro!" "Iya, Mas!" Gangguan telah pergi. Menyusu dan merokok bisa lebih santai. Santai seperti di kereta. *** Susu membuat badan lebih rileks, ternyata benar. Saya sangat mengantuk setelah menyusu. Saya kembali ke gerbong setelah sebelumnya membayar susu dan meminta sehelai selimut. Saya tidak mendapat selimut, padahal suhu pendingin udara di bawah batas normal kekuatan saya menahan dingin. Tiga gerbong saya lewati dengan terhuyung - huyung. Memang susah berjalan di kereta yang melaju. Dengan segala upaya, akhirnya saya sampai di bangku saya, yang ternyata sudah ditempati orang. Tapi melihat saya, orang tersebut meminta maaf dan berpindah tempat duduk. Baguslah, saya mengantuk. Saya sempat meneruskan beberapa halaman buku Ernest Hemingway.  Membuat mata semakin berat. Dengan bermodalkan selimut, saya siap tidur di kereta. Saya tidak pernah tidur di kereta eksekutif, entah kenapa. Baru kali itu saya bisa mengantuk parah. Saya sudah mengatur posisi yang paling nyaman dan menutup muka dengan selimut. Dan saya sudah memasuki tahap tidur REM (Rapid Eye Movement). Sejauh ini ilmuwan belum mengetahui apa tujuan dari tahapan ini. Tahapan ini juga dikenal sebagai Rapid Eye Movement (REM) sleep, karena pada tahap ini mata kita bergerak secara cepat ke segala arah (namun tentunya mata masih berada di dalam rongga mata). Pada tahap ini jugalah biasanya kita mengalami mimpi. 95% orang mengalami mimpi pada tidur REM ini. (http://deviyulianty.wordpress.com/2009/05/04/segala-hal-tentang-tidur/) Iya, saya sudah bermimpi. Saya sudah lelap. Tiba - tiba tepukan agak keras mendarat di bahu. Otak yang masih loading, berpikir untuk mengingat di mana saya meletakkan tiket kereta. Karena saya pikir yang membangunkan saya adalah kondektur. Saya lalu membuka selimut yang menutup kepala saya. "Bro, minjem korek Bro!" BANGSAT! Ternyata si pria tersebut di atas membangunkan saya untuk hal yang tidak penting! Meminjam korek! Sialan brengsek!Saya serahkan korek saya, dan hasrat saya ingin tidur lenyap seketika. Sialan! Saya tidak bisa tidur dan tidak bisa merokok. Pria tersebut menghilang entah ke mana. Kereta sudah mencapai Purwokerto, ia turun. Beserta korek api saya yang tidak berasal dari Singapura. Sialan! [Jogjakarta. 12 Oktober 2010. 03:34 PM. fikri]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun