Pintu itu kamu buka lebar-lebar. Botol-botol itu kamu lempar. Kita tidak mabuk malam ini, sayang. Kita akan berangkat. Lalu kamu menatap lekat. Mencari-cari waktu yang hilang.
Matamu, ah matamu. Aku tidak suka dengan pandanganmu sekarang. Ayo kita pergi sekarang juga. Sebelum kulitku menipis, terkikis matamu.
Kita berlari. Berlomba dengan dering selular dan pesan singkat di partikel udara. Buang saja. Batangan silikon itu mengapung sekarang di ciliwung. Rel dan roda besi berdesis. Kita berlari melawan kodrat.
Hey! Berhenti sejenak sayang. Aku lelah. Aku lelah berlari seharian. Berhenti sampai nafasku normal. Tidak seperti ini. Ini sakit. Kodrat katamu? Haha, kamu konyol.
Iya, ini memang sakit. Lebih baik mati konyol daripada terjajah di rumah sendiri. Maafkan.
Iya, kita berdua memang sakit. Sakit parah. Kronis. Tapi kenapa kita masih memperkosa buku tuhan? Maaf tidak cukup, sayang. Tidak pernah cukup.
Tuhan sedang main gitar. Jangan dia dibawa-bawa. Ada langit di antara jari – jari bunga dan sekarang entah dimana. Kamu tuangkan harapan dunia ketiga yang menyengat di sebuah gelas. Kita legenda sayang. Membakar sampai ke tenggorokan. Iya, kita legenda!
Ah kamu meracau sayang. Kita hanya calon legenda. Ya sudah, aku buatkan kamu mie instant saja. Kamu lapar bukan?
[jogJAKARTA. 14 Juli 2010. 01:40 PM. fg]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H