Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

200.000 Followers untuk Buku? Tentu saja!

3 Juli 2014   04:30 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:44 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada mulanya saya mengetik hanya untuk membunuh waktu. Saya pikir daripada masturbasi, mengetik jauh terdengar lebih produktif dan positif. Jadi maksudnya setelah mengetik, baru saya masturbasi. Lama kelamaan, kegiatan mengetik menjadi rutin. Kemudian entah bagaimana prosesnya, Ms.Word menjelma sebagai sahabat untuk menemani saya di jalur evakuasi, selain anggur murah dalam bentuk fermentasi botolan tentunya. Malah terkadang, kegiatan mengetik mengambil alih tugas alkohol jika saya sedang dirundung masalah kuliah ataupun cinta (iya, saya tahu itu menjijikkan).

Pelan-pelan fail-fail Ms.Word mengisi beberapa lipatan di komputer. Dari yang awalnya hanya bercerita tentang kejadian ajaib yang saya alami, resensi film, resensi gigs, hingga akhirnya memberanikan diri untuk bercerita fiksi. Dari satu fail, dua, lima, lalu kini sudah menyaingi jumlah fail film porno dalam komputer.

Tidak terasa (eh tapi terasa juga sih), secara ajaib beberapa fail menjadi satu kesatuan cerita yang bulat utuh. Sahabat-sahabat saya sudah sangat berisik teriak-teriak menyuruh saya agar naskah tersebut dikonversi menjadi sebuah naskah buku. Teriakan-teriakan yang saya biarkan mengendap di dasar liang telinga selama bertahun-tahun.

Tiga empat tahun berlalu. Endapan teriakan yang kental padat menjadi encer. Keinginan untuk mengubah naskah ini dari digital menjadi analog membumbung tinggi.

***

Awalnya saya memang ingin mencetak naskah saya secara swadaya. Namun 15 bulan silam, beberapa teman penulis terus-terusan menyarankan saya untuk mencoba mengirimkan naskah tersebut kepada penerbit mayor. Mereka beralasan selain cuma-cuma, tak ada salahnya mencoba. Lagipula apabila tembus, maka daya pancarnya akan jauh lebih kuat ketimbang jika diterbitkan mandiri. Dengan jaringan toko buku yang luas, naskah saya (sekali lagi, apabila tembus dengan bold dan italic) bisa mendapat jumlah pembaca yang lebih banyak daripada promosi mulut ke mulut dan menjerit-jerit sendirian di dunia maya.

Saya turuti.

Medio 2013, saya kirimkan naskah tersebut ke suatu penerbit mayor di Jogja. Saya kira karena cerita saya sangat berhubungan dengan Jogja, hal itu akan menjadi suatu resonansi bagi penerbit Jogja. Nyatanya demikian, baru beberapa jam naskah saya kirim lewat surel, pihak penerbit sudah membalas dengan kalimat yang menyenangkan. Padahal dalam situs, biasanya mereka menjawab dalam hitungan bulan.

Akan tetapi semesta menikung. Jawaban menyenangkan yang saya terima saat itu diekori jawaban lain dari penerbit keesokan harinya. Jawaban yang membuat rahang saya pegal untuk tertawa, tertawa ironis. Saya jadikan itu sebagai bahan kicauan di dunia maya. Hahaha, ternyata rentetan kicau digital tersebut berefek luar biasa. Efek tweet tersebut menyebabkan saya memilih untuk mematikan ponsel selama tiga hari demi terhindar dari dering yang tak kunjung berhenti.

1404314089780521600
1404314089780521600

1404314185820242878
1404314185820242878

1404314219534956114
1404314219534956114


Mengagumkan memang apa yang bisa dilakukan oleh Twitter dan akun seseorang tak dikenal bercerita tentang pengalamannya mendapat penolakan penerbitan naskah karena jumlah follower akun Twitter-nya belum memenuhi persyaratan. Sebenarnya hanya kurang sedikit sekali, sekitar 199.500 orang.

1404314264534076130
1404314264534076130

14043143241821962141
14043143241821962141

14043143611599293521
14043143611599293521



Bukan hanya mention dan retweet yang ketika itu seperti tak ada habisnya, seseorang dari penerbit terbesar dengan jaringan toko buku tersebar di seluruh Indonesia menghubungi ponsel saya untuk meminta naskah. Saya kirim sebagian naskah saya, tapi seperti yang sudah-sudah, akhir ceritanya dapat ditebak: Akun surel saya tak lagi ia hubungi, meski setahun sudah berlalu. Ia tenggelam di kedalaman ribuan naskah yang lain, mungkin.

Nasi sudah menjadi bubur, walau tukangnya tak kunjung balik dari Mekah. Yang lalu biarlah bermalu. Daripada tidak ada ujungnya, saya kembali ke niat awal: mencetak lewat self publisher. Dan daripada failnya semakin lama mengerak dalam lipatan komputer (jika naskah ini dibiarkan setahun lagi, maka ia sudah layak untuk masuk sekolah dasar kelas 1), nulisbuku.com menjadi pilihan karena minim birokrasi dan kapital awal.

Buku absurdity, (iya dengan koma) adalah buku pertama dari dua bagian yang jika semesta berpihak pada saya, akan keluar juga akhir tahun ini. Buku ini bercerita fase hidup saya dari awal kuliah hingga akhirnya lulus dengan predikat dan objek. Dalam pengerjaannya, saya berutang begitu banyak kepada Cinit AN yang telah menghabiskan masa hidupnya untuk menyunting kata demi kata dalam naskah ini. Lagi, Mahatma Putri yang membuat sampul buku dan ilustrasi super-duper ultramegakeren.

Cerita dalam buku pertama ini saya ketik sekitar tahun 2005 sampai 2007. Sengaja tidak saya pugar secara detail keseluruhan dan rombak penuh, agar saya mengetahui proses perjalanan hasil ketikan saya dari tahun ke tahun. Tanpa ada tendensi untuk menjadi populer, lebih-lebih menjadi makmur dan sejahtera (saya rasa pendapatan bulanan saya masih cukup untuk membeli sebungkus rokok tiap hari dan beberapa seloki Jack Daniel di akhir pekan), sebetulnya saya mencetak buku ini adalah hanya sebagai dokumentasi dan bukti fisik untuk mengingatkan bahwasanya saya pernah (dan masih) mengetik.

Buku ini jauh dari paripurna. Masih banyak yang harus ditambal di sini-sana. Namun dengan adanya buku ini, setidaknya utang pribadi saya sudah terbayar lunas. Dengan adanya buku ini, setidaknya saya bisa melihat nama saya tertera di sampul buku selain skripsi. Dengan adanya buku ini, setidaknya saya bisa menunda kemarahan ibu saya yang melihat saya hanya ketak-ketik papan kunci di rumah, bukan menjadi bankir, seperti yang banyak teman-teman satu kampus saya jalani. Dengan adanya buku ini, setidaknya adik-adik saya bisa paham alasan kakaknya untuk memanjangkan rambut, bangun sangat siang, dan tidak pergi ke kantor. Dengan adanya buku ini, setidaknya saya bisa memajang foto untuk ditampilkan di jejaring sosial guna menyaingi teman-teman saya yang kerap memajang foto bayi mereka (hahaha, maaf ya). Dengan adanya buku ini, setidaknya saya lebih mudah menjawab ketika teman bertanya, “Kerjaan lo sebenernya ngapain sih, fik?” Bukan, bukan penulis. Saya hanya tukang ketik paruh waktu, bahu saya yang kecil ini tidak sanggup dibebani tanggung jawab yang demikian berat.

Buku ini bisa dipesan di sini. Adalah suatu kehormatan jika teman-teman berkunjung ke tautan tersebut, apalagi sampai bertransaksi. Buku ini seharga Rp 49.000, lekas pesan sekarang karena hari Senin harga tetap sama. Sistem dalam nulisbuku.com adalah semi-independen, sehingga buku akan dicetak jika ada yang memesan, atau bahasa kerennya yakni printed on demand. Butuh waktu sekitar 14 hari untuk memproduksi hingga proses pengiriman.

Akhir kata, inilah absurdity,, anak pertama saya yang berwujud analog. Silakan dicaci-maki, saya sudah lebih dari siap.

14043127811243115133
14043127811243115133


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun