Menilik Wacana Libur Sekolah Sebulan Saat Ramadhan
Salah satu isu di awal tahun 2025 ini adalah tentang wacana libur sekolah selama bulan Ramadhan. Meskipun itu masih wacana, tapi publik harus serius meresponnya. Karena, kebijakan pemerintah polanya sekarang seperti ini. Munculkan wacana lalu lempar ke publik. Nanti nitizen yang budiman yang akan ramai-ramai mewakili suara publik. Jika publik sudah meresponnya dengan berbagai macam respon, baru nanti pemerintah akan mengadakan RATAS (Rapat Terbatas) mengenai hal ini.
Ada beberapa hal yang harus kita cermati. Sehingga kita menjadi bagian yang akan menolak atau menyetujui. Penolakan dan persetujuan kita akan menjadi pertimbangan oleh pemerintah. Karena seperti yang saya sampaikan di atas. Pemerintah sedang uji publik tentang wacana ini.
***
Kita wali dengan mencermati bersama tentang kenyataan di sekitar kita. Di lingkungan tempat tinggal kita, ada berapa anak dengan usia sekolah, baik itu dasar, menengah ataupun atas yang 3-4 tahun yang lalu mengalami sekolah secara daring. Bagaimana dampaknya sekarang ini? Banyak fakta di lapangan, yang tidak banyak diungkap ke publik, banyak anak dengan usia sekolah dasar tingkat atas, atau SMP bahkan SMA belum bisa membaca dan menulis. Terlepas dari berbagai macam faktor, keadaan itu adalah imbas dari pembelajaran daring selama pandemi yang berjalan kurang lebih selama 2 tahun. Anak-anak yang belum bisa membaca dan menulis itu adalah hasil nyata --untuk saya tidak menyebutnya sebagai korban- dari dampak pendidikan selama pandemi. Ayo, jujur saja akan fakta ini. Jangan disebunyikan. Ini bukan aib. Namun persoalan tersembunyi yang harus diselesaikan. Kasihan anak-anak itu.
Kita akui memang, seorang siswa hanya 20-30% mendapatkan ilmu dari bangku sekolah. Sisanya dari kehidupannya di keluarga dan masyarakat. Tapi, di 20-30% itu adalah terdapat pondasi pendidikan seorang anak. Banyak orang tua yang mempercayakan pendidikan anaknya saat jenjang dasar pasrah penuh ke sekolahan. Terutama dalam pelajaran membaca, menulis dan menghitung. Ketiga hal itu adalah pondasi siswa, yang sebagain besar masyarakat kita, mempercayakan kepada sekolah. Tetapi selama pandemi, sekolah tidak bisa berperan banyak. Sedangkan orang tua, tidak dipungkiri harus mencari penghidupan. Tidak banyak waktu bisa mendampingi untuk belajar. Hasilnya? Ya di atas itu tadi. Coba cek di lingkungan sekitar kita.
Nah, sekarang pembelajaran sudah normal kembali. Sekolahan dalam hal ini guru, sedang memperbaiki itu semua. Dan itu proses yang tidak mudah. Menangani keterlambatan siswa-siswinya yang seharusnya sudah bukan lagi fase belajar membaca dan menulis, masih mengulang lagi mengajari membaca dan menulis.
Ketika itu nanti terjeda kembali karena libur panjang selama Ramadhan, apa yang akan terjadi kepada anak-anak kita? Terutama yang masih tertinggal kemampuan membaca dan menulisnya. Padahal itu adalah pondasi awal mereka belajar ilmu lain di tingkatan selanjutnya.
***
Jika alasan lain tentang wacana libur itu adalah supaya bisa fokus beribadah, bukankan belajar dan mengajar adalah ibadah? Bukankah ayat pertama dalam Al-Qur'an yang turun adalah tentang Iqro' yang artinya perintah membaca?
Dengan tetap masuk sekolah namun dengan skema yang disesuaikan, akan menjadikan siswa lebih tertib dalam beribadah? Sekolahan lebih bisa mengontrol siswa-siswinya. Dan di sore sampai malam hari, siswa tetap bisa beribadah bersama keluarga dan lingkungannya.
Sekolahan bisa membuat program-program peningkatan Iman dan Taqwa serta penanaman nilai karakter selama bulan Ramadhan. Dan tetap ada pembelajaran umum seperti biasa, tetapi dengan skema tertentu dan penyesuaian.
Jadi, wacana libur sekolah selama sebulan saat Ramadhan, diganti saja pembahasannya dengan himbauan dan dukungan pemerintah tentang program-program sekolah selama bulan Ramadhan. Jadi fokus pembahasannya bukan libur atau tidak lagi. Tapi, program apa yang harus dilakukan sebagai tanggung jawab negara dalam mendidik generasi bangsanya.