Siapa sangka, video pendek yang kini setiap hari melintas dalam kehidupan kita, merupakan salah satu adiktif yang telah menjadi candu dalam kehidupan sebagaian besar masyarakat kita. Baik itu dari reals instagram, short video youtube, facebook dan sejenisnya. Lalu, tanpa sadar, kita telah membuang waktu dan tenggelam di dalamnya.
Video pendek yang berdurasi 10-20 detik memang mudah untuk diakses melalui hp kita. Namun di sisi lain, jika kita terlalu sering mengkonsumsi video tersebut, jaringan otak kita --otak jangka pendek---akan lebih sering bekerja daripada jaringan otak jangka panjang. Sehingga apa yang terjadi? Daya nalar, daya kritis dan daya ingat kita terhadapa sebuah informasi akan melemah. Kita akan lemah dalam memahami informasi yang lebih panjang dan mendalam. Padahal, video pendek belum tentu bisa menampung informasi yang faktual dan menyeluruh dari sebuah masalah.
Kita akan malas melakukan cek and balance atau bahasa lainnya tabayyun dari sebuah informasi yang berseliweran. Kita akan menelan mentah-mentah apa yang ada di depan kita. Entah itu informasi benar atau tidak. Hal itu terjadi karena otak kita mengalami retensi terhadap sebuah informasi. Lalu kita malas untuk mencari infomasi yang lebih dalam. Nah di sini, daya nalar dan daya kritis kita mulai mengikis.
Lalu, apa dampaknya dalam musim Pemilu Pilkada serentak tahun 2024 ini?
Dalam suasana pemilu, kampanye gelap di era digital ini sangat mudah. Cukup memotong video sambutan calon kadidat. Atau memenggal pernyataan pendukung salah satu paslon misalnya. Hal itu sudah menjadi kampaye hitam yang sangat merugikan. Tidak hanya bagi paslon tertentu. Namun bagi masyarakat kita. Masyarakat pemilih akan semakin skeptis terhadap pemilu. Jadi anyel sama politik yang seharusnya bisa mengentaskan permasalahan mereka dari segi kebijakan. Yang paling parah adalah saling menjelekkan paslon lain dan bisa jadi jothakan sama tetangga yang beda pilihan. Itu terjadi karena masyarakat kita sudah "candu" terhadap video pendek. Kemudian dimanfaatkan hal itu oleh oknum-oknum tertentu, yang entah sengaja atau tidak untuk berkampanye. Akhirnya tidak perang Visi-Misi, malah perang Narasi Ngibuli.
Di sisi lain, video pendek memang bisa menjadi media iklan atau kampanye yang hemat biaya. Bahkan siapapun bisa jadi wartawan dan editor video. Video pendek memang bagaikan 2 mata uang koin yang memiliki 2 sisi. Kalau ditangan orang yang tepat, akan jadi media marketing yang hemat. Kalau ditangan yang jahat, akan jadi bahan berbuat maksiat.
Masyarakat yang sudah lelah bekerja, seharusnya disuguhkan hiburan dan konten yang edukatif. Baik masa kampanye pemilu, ataupun sehari-hari. Sehingga dengan berkembangnya teknologi, semakin bertambahlah ilmu, ya minimal bisa tertawa tapi bermutu. Bukan menjadi konsumen video pendek yang narasinya memecah belah persatuan berbangsa, bernegara dan bertetangga.
Bagaimana melawan hal itu?
Berat. Kecanduan dalam hal apapun itu tidak baik. Tidak perlu dilawan. Namun, bagi siapapun yang sadar akan pentingnya informasi yang berimbang dan lebih mengedepankan kebaikan untuk masa depan, tentu akan berusaha menjadi pribadi yang mengedepankan sikap "opo iyo to?" terhadap informasi yang datang. Dengan "opo iyo to?", daya nalar, daya kritis otak kita akan bekerja dengan baik. Karena kita akan mencari informasi pembanding. Â Â
Mengkonsumsi video pendek boleh-boleh saja. Lha itu ya hp anda sendiri, quota internet anda sendiri. Tapi ya jangan sampai menyebar hal yang masih abu-abu tidak jelas melalui hp kita. Apalagi sudah tahu itu Hoax, malah didum-dumke. Kampanye boleh saja, memilih dalam pemilu adalah hak. Tapi kalau mau jadi goblok, jangan ngajak-ajak, pek en dewe. . . dul. . .dul. . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H