Mohon tunggu...
M Fikriansyah
M Fikriansyah Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Apapun Hasil Pemilu 2019, Masyarakat Harus Menghormatinya

19 April 2019   12:51 Diperbarui: 19 April 2019   12:57 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.timesindonesia.co.id 

Keberhasilan demokrasi bukan hanya sekedar ketika rakyat bisa menyalurkan hak suaranya. Bukan pula pada saat hasil quick count diumumkan. Karena Demokrasi juga membutuhkan legitimasi. Di negara ini, salah satu tahapan legitimasi tersebut adalah putusan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dimana Sesuai dengan peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2018.

Bagi para calon legislatif maupun capres dan cawapres, keunggulan di rekapitulasi KPU inilah yang pantas disebut kemenangan. Keunggulan di hitung cepat (Quick Count) hanyalah indikasi kemenangan. Meski dengan menggunakan teknologi mutahir yang semakin cepat dan akurat, legitimasi tetaplah milik lembaga negara. Pemahaman itu bukan baru, bahkan semestinya sudah melekat pada setiap pihak yang turut berikhtiar dalam pertarungan pileg maupun pilpres pada tahun 2019

Perlu diketahui pula bahwa KPU memiliki sistem informasi penghitungan suara (situng) yang prosesnya dilakukan dengan mengunggah scan C-1 (hasil penghitungan suara di TPS). Hasil situng ini ditampilkan di portal KPU. Pemerhati politik Hendri Satrio dari Universitas Paramadina menilai, bahwa hasil survei pada sejumlah penelitian bisa saja meleset dari hasil akhir karena adanya fenomena silent voters yang merahasiakan pilihannya.

Keberadaan responden yang merahasiakan pilihannya itu, tentu tidak dapat diukur oleh lembaga -- lembaga survei sehingga hasil akhir pemilu bisa jauh berbeda dari hasil survei. Kondisi tersebutlah yang sempat mengakibatkan hasil survei pada pemilihan kepala daerah beberapa meleset dari hasil penghitungan manual KPU. Hal ini tentu harus diperhatikan oleh peserta pemilu, agar tidak terlena dengan selisih 2 digit, jika swing voter menunjukkan suaranya pada pemilu, maka hasil akhirnya bisa saja berbeda.

Menyikapi hal ini tentu masyarakat haruslah benar -- benar mempercayai penyelenggara pemilu mulai dari KPU, Bawaslu hingga aparat keamanan seperti TNI dan Polri. Apabila hasil akhir pemilu tidak sesuai dengan harapan dan berbeda dengan hasil survei, maka perawat harus menerimanya.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil ketua pusat studi pancasila dan bela negara, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Dr Abdur Rozaki menambahkan, di dalam masa tenang ini, masyarakat bisa merenung dan berpikir secara mendalam dalam memilih pemimpin yang kuat, tidak mudah percaya informasi yang bernuansa hoax dan tolak politik uang. Selain itu dirinya juga menghimbau kepada seluruh kontestan pemilu agar bersikap sportif dan siap menerima hasil pemilu yang merupakan hasil dari pilihan rakyat. Tentu dirinya juga menghimbau agar penyelenggaraan pemilu bertindak adil, transparan, akuntabel, berintegritas dan bertanggung jawab.

Selain itu masyarakat juga harus bersikap dewasa dalam menerima hasil apapun yang kelak diumumkan secara resmi oleh KPU. Jangan sampai, Pileg dan Pilpres yang berlangsung 17 April menjadi jurang pembeda yang mengancam perpecahan NKRI. Jangan sampai ada yang berkelahi di tengah perbedaan pandangan politik karena akan mempermalukan umat Islam Indonesia.

Pemilu juga tidak boleh menjadikan bangsa Indonesia mundur ke belakang karena kekacauan, oleh karena itu diperlukan lah sikap yang cerdas dan dewasa dalam proses pemilu serentak 2019. Tentunya masyarakat juga perlu mewaspadai situasi setelah Pilpres dan Pileg, karena situasi ini pastinya ada pihak yang tidak puas terhadap hasilnya, terutama bagi pihak yang tidak siap untuk terpilih.

Apabila menemukan pelanggaran atau kecurangan, tentu masyarakat berhak untuk menempuh proses hukum yang telah disediakan. Tentunya tidak perlu melaporkan pelanggaran pemilu di media sosial. Hal tersebut dikarenakan dapat berdampak pada tersulutnya provokasi warganet jika tidak disertai rasa tanggungjawab. Selain pengawas pemilu, masyarakat juga dapat melaporkan pelanggaran melalui pemantau pemilu, misalnya Perludem, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) atau Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP).

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menghimbau agar masyarakat yang datang langsung memantau apabila menemukan adanya dugaan praktik kecurangan menempuh prosedur lapor yang benar dan sesuai aturan main.
Pelaksanaan pemilu yang sehat dan minim akan kecurangan merupakan tanggung jawab bersama dan bisa diteruskan ke badan pengawas pemilu. Jangan sampai bangsa kita ternoda oleh kecurangan maupun hasutan demi sebuah jabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun