Tinggal menghitung hari, pesta demokrasi Indonesia akan mencapai puncaknya. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden akan dilangsungkan secara serempak tanggal 17 April 2019. Pastinya pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dari kedua pihak sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri secara optimal. Ini demi memenangkan tampuk jabatan presiden dan wakil presiden yang akan dipegang selama lima tahun ke depan (2019-2024).
Selain kedua pasangan Capres-Cawapres, para pendukung mereka pun akan memiliki perasaan campur aduk, bak seorang calon pengantin menunggu hari pernikahan mereka. Semacam ekspresi riang gembira yang belum tersampaikan atau tersalurkan.
Orang-orang Indonesia pun berharap pemimpin yang terpilih akan membawa perubahan segar terhadap kemajuan bangsa selama masa kepemimpinan mereka. Siapapun pemimpinnya, mereka adalah putra-putra terbaik bangsa Indonesia. Bahkan, kedua pasangan capres dan cawapres tersebut bisa disebut sebagai perwakilan karakter dari masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa kepemimpinan dan bisa dijadikan teladan semua orang. KPU sendiri telah menghadirkan bukti-bukti tersebut dalam debat capres dan cawapres dalam beberapa sesi.
Dengan hadirnya pemimpin negara yang bagus, tentu masyarakat berharap mendapat ketentraman dan kedamaian dalam kehidupannya. Dalam hal ini masyarakat tentu harus bijak memilih calon pemimpinnya berdasarkan tindak-tanduk yang diperlihatkan kedua calon pemimpinnya. Dan bukannya berdasarkan omongan sekelompok orang yang ingin memperkeruh pemikiran masyarakat (memaksakan kehendaknya secara terselubung melalui aktivitas yang katanya damai).
Tapi, tentunya, masyarakat Indonesia terdiri dari orang-orang cerdas yang peka terhadap fenomena politik yang bergejolak di negeri ini. Sehingga masyarakat telah menebak arah dari tujuan kegiatan kampanye politik terselubung yang dilakukan segelintir kelompok ini.
Beberapa waktu lalu, FUI (Forum Umat Islam) bersama beberapa organisasi masyarakat lainnya seperti FPI (Front Pembela Islam), Presidium Alumni (PA) 212, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U), dll., telah menghelat sebuah aksi yang dinamakan "Apel Siaga Umat 313" untuk meminta KPU agar tidak melakukan tindak kecurangan apapun dalam pemilu 17 April 2019 nanti. Aksi itu digelar tanggal 31 Maret 2019. Aksi ini berjalan damai. Bagaimana tidak? Mereka menggelar aksi pada hari Minggu dimana kantor KPU libur. Tidak ada seorang pun perwakilan KPU yang menyambut aksi "Apel Siaga Umat 313" ini.
Aksi yang dipelopori oleh FUI ini seolah-olah memiliki kecenderungan tertentu. Dalam hal ini, ingin mendelegitimasi KPU (Komisi Pemilihan Umum) sebagai lembaga negara yang menyelenggarakan pemilu secara independen. Sebagaimana diketahui FUI dan ormas-ormas yang hadir dalam "Apel Siaga Umat 313" berada di kubu salah satu pasangan capres dan cawapres.
Apakah KPU bermain-main dalam menyelenggarakan pemilu 2019? Tentu saja tidak demikian adanya. Kenapa? Karena orang-orang yang berada dibawah atap KPU dan KPUD merupakan para profesional. Mereka tidak menjadi anggota KPU dan KPUD karena dipilih, melainkan melalui seleksi super ketat. Orang-orang seperti ini tidak diragukan lagi profesionalitasnya, kemudian netralitasnya, integritasnya, dan akuntabilitasnya.
Kita, sebagai bagian dari Indonesia -- Sabang sampai Merauke -- sebaiknya bersikap bijak serta cerdas menentukan pilihan sekaligus memilih hal-hal yang perlu diikuti. Perlu dicermati, jika aksi "Apel Siaga Umat 313", yang dihelat oleh orang-orang dari FUI, HRS (Habib Rizieq Shihab), dan PA 212 memiliki misi terselubung yang dikemas.
Bukan tidak mungkin terdapat pesan kampanye politik yang tak kasat mata untuk menggiring pemikiran masyarakat untuk memilih salah satu pasangan capres dan cawapres tertentu. Selain itu, ada semacam ajakan tak terlihat untuk mendelegitimasi KPU/KPUD. Padahal, jelas-jelas, kedua lembaga negara independen tersebut telah berjuang keras menampilkan performa terbaiknya.