Sabtu, tanggal 19 Februari 2005..
Sabtu yang cerah, seperti biasanya aku berangkat sekolah bersama teman dan kala sampailah di jalan kota senangnya mereka berkata “Hoi Ky,berani nggak ? pelan-pelan aja, nanti ketabrak bus lho ! ha...ha...
Aku hanya tersenyum kecut, ku akui aku takut untuk menyeberang di jalan aspal seperti ini – kecuali jalanan sepi. Bukan karena apa, namun aku masih trauma dengan kejadian dua tahun lalu yang hampir merenggut nyawaku dan nyawa ibuku.
Waktu itu aku masih duduk di kelas 2 SMP. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap libur Hari Raya keluargaku mengunjungi kakek nenek di Desa Baturetno. Aku dibonceng ibu naik motor Astrea hitam, sedang ayah dan adik di belakang kami naik sepeda motor Supra merah. Di tengah perjalanan ban motor ibu bocor sehingga harus ditambal dan butuh waktu yang lama. Yang membuat ibu kesal adalah ayah tidak berhenti menunggu kami, tapi malah pergi begitu saja.
Akhirnya, masalah ban telah selesai dan dengan dongkol ibu melanjutkan perjalanan. Saat melewati tikungan, tiba-tiba dari arah berlawanan sebuah bus meluncur ke arah kami, ibu berusaha menghindari ke tepi jalan beraspal, kami selamat dari kepala dan badan bus – tapi tidak dengan ekornya.
Ketika sampai pada ekor, ekor bus tersebut bergesekan dengan kami. Setelah lewat dari momen menegangkan itu, aku terjatuh dengan posisi menelungkup, gigiku menghantam aspal, tasku terpental ke seberang jalan. Ibu masih bisa melaju motornya sekitar 5 meter di depanku dan berhenti di sebuah rumah praktik dokter. Lalu beliau duduk menyelonjorkan kakinya di teras rumah itu sambil memijat-mijat kakinya.
Segera saja orang-orang berdatangan, aku dibopong seorang bapak dan dibawa ke rumah sakit dengan angkot. Di dalam angkot pun aku jadi pusat perhatian, semua bertanya,“ Kenapa pak ? Kecelakaan ? Di mana ?” atau “Ya Allah, kasihan,masih kecil “.
Sampai di rumah sakit aku diperiksa dokter wanita berkacamata, kemayu – mungkin dengan harapan pasiennya terhibur dan cepat sembuh. “ Mana yang sakit ?” tanyanya padaku. “ Di sini, di sini dan di sini “ ujarku sambil menunjuk kepala, gigi, dan kakiku. Lalu, ia meraba kepalaku, mengerutkan kening, “Eh, apa ini ?” tanyanya saat menemukan “sesuatu” di kepalaku. Sedetik kemudian baru ia sadar bahwa “sesuatu”itu bukan hal yang menakutkan (ia mengira itu gegar otak, atau kepalaku bocor), melainkan penyemat rambut yang masih tersemat di rambutku.
“Rasanya mual tidak ?” tanyanya lagi. “Nggak” jawabku sambil menggeleng pelan. “ Oh, ini nggak apa-apa kok, minum obatnya ya, semoga cepat sembuh. Permisi.” Ujar dokter itu seraya pergi.
Di kemudian hari aku baru tahu bahwa sebenarnya yang sakit parah adalah ibu. Kulit kaki depannya terkelupas dan setelah di roentgen diketahui tempurung lututnya agak retak sehingga mengakibatkan linu bila berjalan jauh atau terkena udara dingin. Ibu jadi uring-uringan dengan ayah. Mengingat itu semua membuatku sedih rasanya. Ah, ibu, seandainya saja dulu ....
“KIKY, AWAS !!” teriak seorang temanku. “AAAGRH !” reflek aku menepi dari jalan raya. Ternyata tanpa sadar aku menyeberang sambil melamun tidak karuan.
“ Ya Allah dek, hati-hati. Nanti kalau tertabrak bagaimana ?” ujar Mbak Tiko menasehati.
Sesampainya di sekolah, kami pun melaksanakan apel rutin tiap Sabtu pagi. Dalam hati aku berjanji, tidak akan teledor seperti tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H