"Eh, anaknya si anu kemaren nikahnya di gedung mewah ya, kateringnya juga macam-macam, terus dekorasinya juga mahal".
"Ya wajar aja sih, menantunya orang kaya. Udah standar juga kan di tempat kita kayak gitu".
Semuannya menjadi rumit dan sulit ketika ditentukan dengan standarisasi masyarakat, apa benar begitu ?
Sudah banyak cerita orang-orang yang gagal menikah, entah karena hubungannya rusak, atau status yang menjadi masalah, atau juga karena ekonomi yang tak mendukung.Â
Serba serbi gagal menikah bukan lagi hal yang tabu di Indonesia. Bahkan karena sudah banyak kejadian, tentu saja membuat hal ini terdengar seperti hal normal di telinga masyarakat. Faktor yang bervariatif membuat drama gagal menikah menjadi topik asyik di setiap pembicaraan.
Indonesia memiliki beragama budaya dalam adat istiadat pernikahan. Tentunya, adat istiadat ini perlu dilaksanakan sebagai bentuk rasa hormat terhadap kebudayaan. Namun, di samping adanya adat istiadat, standarisasi juga ada dalam pandangan masyarakat, dan menjadi patokan khusus dalam acara pernikahan. Hal ini jugalah yang banyak menjadi faktor kegagalan dalam sebuah rencana pernikahan.
Apa salahnya tidak mengikuti standar masyarakat, kenapa juga kita harus mengikuti pandangan masyarakat yang meletakkan standarisasi tanpa dasar.
Standar pernikahan hanya dibuat sebagai alat ukur finansial, standar pernikahan hanya dijadikan sarana pemuas nafsu masyarakat, dan standar pernikahan hanya berlaku di masyarakat yang tak mengerti makna sebenarnya pernikahan.
Standarisasi lah yang menjadi penyebab utama rumit dan sulitnya menikah. Bahkan, karena terlalu berpatokan kepada standar banyak orang yang gagal menikah.Â