Mohon tunggu...
fikri abdillah
fikri abdillah Mohon Tunggu... Guru - writer

Teacher and learner | Writer of Education Issues | Edutech Enthusiast | Building Edutech Company

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gaji Seorang Guru Menentukan Kesejahteraan, Bukan Surganya

17 Oktober 2019   09:49 Diperbarui: 17 Oktober 2019   17:34 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nining Suryani (44) menunjukkan isi rumahnya yang menempati bagian toilet sekolah di SDN Karyabuana 3, Kecamatan Cigeulis, Kabupaten Pandeglang, Banten, Senin (15/7/2019)(KOMPAS.com/ ACEP NAZMUDIN)

Yang terhormat Bapak Muhadjir, entah bapak dalam keadaan sadar atau tidak ketika berucap. Tapi, guru honorer yang setiap hari mengajar harus selalu dalam keadaan sadar untuk tetap tegar dalam mengajar di depan kelas. Bapak-ibu guru honorer tidak dapat memberikan sekadar ucapan-ucapan penenang kehidupan di hadapan muridnya, akan tetapi meraka harus tetap tersenyum dan memberikan pengajaran semampu yang mereka bisa.

Yang terhormat Bapak Muhadjir, ayolah, sampai kapan polemik tentang pahitnya kehidupan guru honorer di Indonesia terus berlanjut?

Pak Muhadjir diangkat menjadi Menteri bukan untuk bercanda, melainkan memberikan solusi bagi guru yang semasa hidupnya harus menerima gaji ratusan ribu. Pak Muhadjir diangkat menjadi Menteri bukan untuk sekedar berkata, tapi untuk menjadikan guru yang dimanusiakan.

Yang terhormat Bapak Muhadjir, sampai kapan cerita seperti Ibu Nining Suryani, seorang guru honorer di Pandeglang yang bahkan tidak dapat membayar kontrakan dan terpaksa tinggal di toilet sekolah tetap ada di negeri ini? Sampai kapan cerita tentang guru yang tiap bulannya ketakutan karena tidak mampu membayar hutang akan terus ada di negeri ini? 

Sampai kapan cerita seorang guru yang menahan lapar karena harus menunggu 3 bulan sekali untuk menerima gaji yang besarannya hanya ratusan ribu akan tetap ada di negeri ini? 

Guru honorer tidak hanya membutuhkan harapan di akhirat saja, tapi perut mereka juga perlu diisi, anak dan istri mereka perlu dinafkahi, dahaga mereka perlu dicukupi, dan yang paling terpenting adalah keringat mereka perlu dihargai, sehingga mereka akan dapat hidup tenang tanpa memikirkan hal-hal yang dapat mengacaukan fikiran mereka sehari-hari.

Saya sendiri sudah mulai jengah dengan kata-kata "guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa", seakan guru adalah profesi yang harus selalu ikhlas tanpa harus memikirkan kesejahteraannya.

Surga dan neraka mungkin saja buah dari kesabaran seorang guru honorer selama di dunia. Tapi, kesejahteraan seorang guru akan membuat hidupnya lebih tenang tanpa adanya keluhan sedikit pun di dalam hatinya.

Jika surga adalah jawaban dari tangisan para guru honorer di dunia, maka untuk apa lagi ada Bapak Muhadjir sebagai Menteri Pendidikan di negeri ini? Pak, tolonglah turun dari menara gading dan rasakan pahitnya menjadi guru honorer. 

Terakhir, Pak Muhadjir seharusnya menjadi panglima yang mendengar dan menyuarakan nasib dari para pion-pion kecilnya, bukan malah membiarkan mereka tetap menjadi lilin yang terbakar begitu saja tanpa penghargaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun