burung-burung beterbangan bebas di sela-sela kabut pagi yang terasa berat menatap ke seluruh penjuru seluas mata memandang. sayup-sayup gemuruh suara satwa memekakan telinga yang penuh akan kepeningan. disaat matahari mulai terbangun, seorang Lelaki masih saja terdiam dengan selembar kain di bahunya bersandar pada sebuah anyaman bambu yang terlihat mulai rapuh termakan usia.
Kala itu hari menunjukkan masih jam 6 pagi, Dacup sebut saja namanya sedang menunggukedatangan sang ibu. Ia adalah satu-satunya harta yang berharga yang masih Dacup miliki sejak kejadian 6 tahun yang lalu saat sebuah tragedi gempa besar menggemparkan tempatnya dan meluluh lantahkan semua harta bendanya dan yang lebih menyedihkan lagi Dacup harus kehilangan dua orang adiknya dan juga ayahnya tentunya. Sejak saat itu Dacup merasa hidupnyapun seakan-akan berubah dan berbalik, ratapan dan tangis kehilangan seakan menjadi pertanda awal berubahnya kehidupannya. Sejak saat itu Dacup juga sadar akan begitu berartinya kebahagiaan dalam keluarga, itu serasa mengalahkan segala macam kebahagiaan yang Dacup pernah alami atau dapatkan. Baginya, kini hidup adalah hanya sekedar hidup. Tidak ada sesuatu yang special untuk dijalani, seakan kehidupanya
hanyalah bergantung pada sehelai benang yang lurus yang memang tudak ada lagi jalan untuk keluar dari jalur tersebut. Kebahagiaannya adalah satu-satunya hanyalah sang Ibu.
Hari demi hari senantiasa menanti untuk ia jalani, sebuah hal yang mungkin terasa membosankan bagi orang yang
memiliki pemikiran layaknya Dacup. Kebahagiaan kini seakan-akan hanya muncul dari raut wajah tersenyum bahagia Ibunya, bagaikan sebuah peluru yang menghujam deras tepat ke ulu hati kita berada. Tak bias tertolak, tak bias pula dihindari, semuanya harus terterima dengan baik.
Andaikan Dacup tidak berpemahaman seperti itu, mungkin dia akan dapat mengaplikaskan kata bijak “Pengalaman
adalah sebaik-baiknya guru”. Padahal hidup ini tersusun dari berbagai macam komponen diskret yang pada masing-masingnya terdapat berbagai macam kebaikan yang abstrak maupun konret. Terkadang jika kita hanya memandang hidup ini sebagai kesatuan tanpa kita ingin ketahui pula apa yang menjadi bagian dari hidup ini, pastilah hidup akan terasa tanpa guna dan arti. Terima kasih dan puji kepada Tuhan semesta alam atas limpahan keberagaman pola dalam mejalani kehidupan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H