Beberapa hari dan minggu belakangan ini pendidikan menjadi tumbal dan dikosumsi yang berlebihan dari pemangku kebijakan, apa terlebih tidak ada opsi otentik dan kongkrit yang jelas dari mereka (pemangku kebijakan) setidaknya memberi ruang untuk penanganan ini.Â
Memang benar kita di tengah-tengah pandemi nasional semacam binatang yang di kurung dalam kandang dan haram untuk melawan/keluar dari kandang, kecolongan mahasiswa terlihat pada saat DPR-RI serius membahas dan mengasahkan UU minerba di bulan ramadhan ini.
Semua elemen masyarakat dibuat dilematis, dengan asumsi untuk memutus mata rantai covid-19 maka berdiam dirumah, kerja dari rumah, dan tugas mahasiswa dikerjakan dirumah (Seperti penulis katakan di atas bahwa; mahasiswa dan masyarakat di kurung dalam kandang) beberapa kecacatan ini membuat gerakan mahasiswa terpojokkan.Â
Di beberapa kampus merasakan hal demikian, semacam meraut benang yang jatuh di tengah-tengah rumput (Sulit menemukan Jawaban), beberapa mahasiswa mengeluh terkait biaya pendidikan terutama klaster-Klaster yang pendapatan orang tua mereka tidak konsisten akibat pandemi ini.Â
Kekagetan ini benar-benar dirasakan oleh sekelompok orang/mahasiswa yang ekonominya menengah kebawah, penulis sempatkan waktu membaca tulisan dari salah satu mahasiswa semester 6 fakultas Syariah di IAIN Manado, beliau melihat ada ketimpangan namun itu hal alamiah dalam membaca polemik dan kesemrautan sosial hari ini yang tidak bisa di tanggulangi oleh pemerintah.
Bicara UKT sampai hari ini masih menjadi polemik, ada kecacatan pada perealisasiannya, kita harus menyadari bahwa proyeksi dari UKT tidak lepas dari penerapan sistem pendidikan di indonesia yang tidak tersistematis sehingga adanya korupsi dan penghematan dalam ruang pendidikan, kementrian pendidikan dan dirjen pendidikan Agama islam (Kemenag) yang menaungi perguruan tinggi dan pendidikan lainnya harus memberikan rekonstruksi (perbaikan) apa terlebih APBN yang digeser itu tidak kecil di masing-masing kementrian.
25% dari APBN untuk pendidikan adalah jumlah besar, dalam masa-masa pandemi ini beberapa persen dari bidang pendidikan digeser yang katanya "Mengurangi keluhan mahasiswa pada pembelajaran online" semisal Pulsa data dan peng-gratisan aplikasi belajar online di beberapa provider.Â
Kemudian bagaimana dengan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Yang masih tanda tanya besar sebab menuju kurikulum baru belum ada kepastian dari negara untuk memberi stimulasi dan implikasi kongkrit terhadap hal tersebut.
Ini yang penulis katakan bahwa ada kebijakan yang kurang di baca gerakannya, dan sebagian kelompok lebih memprioritaskan kelompok dan lebih memilih stagnasi dibanding mengevaluasi sistem hari ini, opsionalitas (Alternatif) tidak dihadirkan oleh pemangku kebijakan serta tidak pada porsinya lagi pendidikan, yang seharusnya "membebaskan nilai-nilai nalar dan kerja-kerja pikiran (Paolo freire)".
Persepsi sering kali menjadi polemik dari kompleksitas pandangan, falacies (kegagalan berpikir) nyemplung tanpa ada yang mengatur, masyarakat kampus (Mahasiswa) tidak lagi berdomain pada risalah Sumpah mahasiswa yang di ikrar bersama dikalah masa orientasi masuk kampus, sumpah itu memanggil tapi, kebanyakan menepi dan membahas soal pribadi dibanding masalah pendidikan.Â
Kemarin 21 mei 2020 sebagai panggilan 13 tahun lalu soal reformasi, namun lagi-lagi mahasiswa santuy dengan kesibukan lebaran, sosmedtan, dan lain sebagainya.